Rabu 19 Jan 2022 04:00 WIB

Maladewa Negara Mayoritas Muslim, Hadapi Ancaman Terorisme?

Maladewa hadapi ancaman terorisme yang dilakukan ekstremis Islam

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Nashih Nashrullah
Masjid Raja Salman Maladewa (Ilustrasi). Maladewa hadapi ancaman terorisme yang dilakukan ekstremis Islam
Foto:

Menurut data dari South Asia Terrorism Portal (SATP), ada sebanyak empat serangan teroris yang dilaporkan sepanjang 2020 di Maladewa.

Salah satunya adalah serangan terorisme yang terjadi pada 15 April 2020, di mana ada lima speedboat, satu ambulans laut, hingga satu kapal polisi rusak akibat serangan di Dermaga Mahibadhoo. ISIS mengklaim serangan tersebut sebagai aksi mereka 

Pada 15 Mei 2021, satu sel ISIS dinetralisir ketika MPS dan MNDF meringkus tujuh laki-laki yang dicurigai berkaitan dengan ISIS dari Kota Addu. Tak ada penjelasan lebih lanjut mengenai kasus ini. 

Menurut database SATP, Pasukan Keamanan menangkap total 24 tersangka terorisme di Maladewa pada 2021.

Jumlah tersebut meningkat dibandingkan total tersangka terorisme yang ditangkap pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu 19 tersangka pada 2020 dan tiga tersangka pada 2019.

Tingginya persepsi ancaman di maladewa dinilai sebagai hasil dari manifestasi signifikan ekstrimisme radikal. Untuk menghadapi ancaman ini, pemerintah Maladewa telah melakukan beberapa upaya pada 2021. 

Pada 15 Desember 2021 misalnya, Presiden Ibrahim Mohamed Solih mengesahkan amandemen ketiga untuk Undang-Undang Antiterorisme. RUU dari undang-undang tersebut sebelumnya disahkan pada 29 November 2021. 

Sementara itu pada 7 Desember 2021, Presiden Solih juga meresmikan Joint Interagency Operation Center. Joint Interagency Operation Center ini dibangun untuk melawan serangan teroris. 

Meski Maladewa dihuni sepenuhnya oleh Muslim, akan tetapi para ekstremis kerap melabeli lawan mereka sebagai non Muslim. Hal ini memicu terjadinya insiden-insiden intimidasi. 

Pada 17 Juli 2021, Nasheed sempat menulis surat terbuka yang dia unggah di akun //Facebook// dan //Twitter// resminya. Menurut Nasheed, serangan yang dilayangkan kepadanya juga didasari masalah pelabelan "non Muslim" oleh para ekstremis. Pelabelan ini merupakan akar masalah yang kemudian mengarah pada hukuman mati dan bentuk fatwa. 

"Kelompok-kelompok indoktrinasi Jihadi yang keras kepala kemudian mengeksekusi fatwa tersebut, seperti halnya semua pembunuhan bermotif ekstremisme lainnya," ungkap Nasheed, seperti dilansir EuroAsia View.

Baca juga: Saat Tentara Salib Hancurkan Masjid Hingga Gereja di Alexandria Mesir 

Menurut peneliti dari Institute for Conflict Management, Giriraj Bhattacharjee, mengatakan diperlukan adanya penguatan pada badan-badan investigasi dan intelijen.

Selain itu, Bhattacharjee juga menilai rekomendasi dari komite parlemen Keamanan Nasional perlu diterapkan. "(Bila hal-hal ini tidak dilakukan) mustahil untuk melawan ancaman ekstrimis dan teroris di negara kepulauan ini," ujar Bhattacharjee. 

 

 

Sumber: eurasiarevie 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement