REPUBLIKA.CO.ID, KABUL – Taliban enggan disalahkan atas krisis ekonomi yang kini sedang membekap Afghanistan. Taliban mengklaim, mereka tengah bekerja memberantas praktik korupsi yang dilakukan pemerintahan sebelumnya.
“Kami tenggelam dalam masalah kami dan kami mencoba untuk mendapatkan kekuatan untuk membawa rakyat kami keluar dari kesengsaraan serta kesulitan dengan bantuan Allah,” kata Perdana Menteri Taliban di Afghanistan, Mullah Mohammad Hassan Akhund, dalam pidatonya pada Sabtu (27/11), dikutip laman Gulf Today.
Pada kesempatan itu, dia turut meyakinkan bahwa Taliban ingin membangun hubungan dan kerja sama dengan berbagai negara.
“Kami meyakinkan semua negara bahwa kami tidak akan mencampuri urusan dalam negeri mereka dan kami ingin memiliki hubungan ekonomi yang baik dengan mereka,” ujarnya.
Pidato Akhund yang berdurasi 30 menit disiarkan di televisi pemerintah. Itu merupakan pidato pertamanya sejak Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan pada pertengahan Agustus lalu. Pidato itu disampaikan menjelang pertemuan antara Taliban dan Amerika Serikat (AS) di Doha, Qatar, pekan depan.
Krisis ekonomi dan kemanusiaan di Afghanistan memburuk sejak Taliban menguasai kembali Afghanistan pada Agustus lalu. Aksi kejahatan, seperti penculikan dan perampokan, dilaporkan meningkat tajam di berbagai daerah, terutama ibu kota Kabul.
Pekan lalu, Taliban meminta Kongres Amerika Serikat mengambil langkah bertanggung jawab untuk mengatasi krisis kemanusiaan dan ekonomi yang sedang berlangsung di Afghanistan.
Menurut mereka, langkah Kongres dapat mencairkan aset Afghanistan yang dibekukan Pemerintah Amerika Serikat dan mencabut sanksi terhadap Afghanistan.
"Ketika bulan-bulan musim dingin semakin dekat di Afghanistan, dan dalam keadaan di mana negara kami telah dihantam virus korona, kekeringan, perang, dan kemiskinan, sanksi Amerika tidak hanya merusak perdagangan serta bisnis tetapi juga dengan bantuan kemanusiaan,” Menteri Luar Negeri Taliban, Amir Khan Mutaqqi, dalam surat terbuka yang ditujukan untuk anggota Kongres Amerika Serikat pada Rabu (17/11), dikutip Anadolu Agency.
Dia mengungkapkan, pemerintahan Taliban terkejut saat Pemerintah Amerika Serikat mengumumkan penerapan sanksi pada aset bank sentral Afghanistan. “Ini bertentangan dengan harapan kami serta Perjanjian Doha,” ucapnya merujuk pada perjanjian damai antara Amerika Serikat dan Taliban yang tercapai pada Februari tahun lalu.
Saat ini Amerika Serikat diketahui membekukan aset asing Afghanistan senilai lebih dari sembilan miliar dolar.
Pembekuan itu dilakukan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan pada pertengahan Agustus lalu.