REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewasa ini peran perempuan mulai lebih diperhitungkan di dunia Arab. Banyak tentara di dunia Arab yang melibatkan wanita ke dalam perencanaan strategis dan operasional mereka.
Pada Oktober 2019, Arab Saudi mengizinkan wanita bergabung dengan angkatan bersenjata Kerajaan. Tetapi, mereka mempertahankan batas hukum yang membatasi kaum hawa untuk posisi subaltern (bukan elite).
Secara paralel, Uni Emirat Arab (UEA) menyoroti Mariam al Mansouri, pilot pesawat tempur wanita Emirat pertama, saat dia memimpin skuadron yang melakukan serangan udara di Suriah melawan kelompok ISIS. Integrasi perempuan ke dalam angkatan bersenjata Arab tetap tidak merata di seluruh negara tersebut, lambat, dan penuh dengan hambatan, baik itu hukum, agama, maupun sosial.
Namun, perempuan secara bertahap memasuki institusi militer, melalui kebijakan proaktif yang dilakukan oleh negara-negara yang telah memahami kepentingan strategis mengintegrasikan perempuan ke dalam pertahanan negara. Jika angka tersebut cenderung tumbuh secara regional, sebuah penelitian yang diterbitkan pada 2019 oleh Universitas Amerika Lebanon menyebutkan perempuan masih mewakili lima persen dari total angkatan kerja militer di Lebanon, tujuh persen di Tunisia, dan 1,5 persen personel militer tidak termasuk layanan medis di Yordania.
Namun, di sisi lain, pentingnya tempat perempuan dalam tentara jauh dari nyata bagi banyak warga Arab. Di Mesir, Pasal 10 Konstitusi Mesir menjamin kesetaraan gender. Tetapi, Pasal 11, yang menyatakan keterikatan pada nilai-nilai keluarga, agama, dan patriotik, telah digunakan sebagai dasar melumpuhkan kemajuan di bidang ini.