REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) menyampaikan mosi tidak percaya terhadap kinerja Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim. Sikap PB PII ini disampaikan melalui surat mosi tidak percaya yang ditandatangani oleh Ketua Umum PB PII Rafani Tuahuns dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PB PII Aziz Fauzul Adzim.
"Mosi ini merupakan pernyataan sikap PB PII terhadap kinerja Mendikbudristek Nadiem Makarim. Selama ini PB PII menilai kinerja Nadiem tidak pernah optimal dalam memecahkan permasalahan-permasalahan pendidikan nasional, maka dari itu kami meminta Pak Presiden Jokowi untuk mengevaluasi kinerja Nadiem," kata Aziz kepada Republika.co.id, Rabu (17/11).
Aziz melanjutkan, persoalan ketimpangan masih menjadi primadona masalah di Indonesia dan hal ini perlu segera disikapi dengan serius. "Dan kami menilai Mendikbud tidak mampu melaksanakan tugas itu. Maka dari itu kami meminta presiden membentuk tim khusus di bawah presiden langsung untuk menyelesaikan persoalan ini," tuturnya.
PII, tambah Aziz, menilai kinerja Nadiem tidak mencapai hasil yang memuaskan dan salah kaparah dalam memaknai pendidikan yang utuh. Secara kelembagaan, kiprah Kemendikbudristek telah melenceng jauh dari tugas-tugasnya.
Karena itu, Aziz mengatakan, PB PII menuntut agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera melakukan evaluasi terhadap kinerja Nadiem secara menyeluruh. Kedua, PB PII meminta pembentukan unit kerja di bawah Presiden yang terkonsentrasi pada persoalan ketimpangan dan digitalisasi pendidikan.
Ketiga, PII meminta agar membebaskan biaya pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi di masa pandemi dan PPKM. Keempat, pemerintah harus meningkatkan kesejahteraan guru honorer dan guru di pelosok negeri. Terakhir, PB PII meminta Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian terhadap Permendikbud Nomor 28 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Aziz juga menyampaikan, PII menilai bahwa di tengah situasi pandemi yang semestinya menjadi ruang bagi Nadiem untuk membuktikan kepiawaiannya menggunakan teknologi untuk mengakselerasi bidang pendidikan, justru malah berbanding terbalik. Nadiem dalam kebijakannya tak mampu memanfaatkan teknologi untuk mempercepat pembangunan di bidang pendidikan.
"Alih alih, Nadiem malah berkutat pada program-program jargonistik yang tak tentu arah. Data BPS yang dirilis pada 2020 setidaknya telah menunjukan kesenjangan pendidikan antar kelompok ekonomi masih menjadi permasalahan dan semakin lebar seiring dengan semakin tingginya jenjang pendidikan. Kesenjangan pendidikan juga masih tinggi apabila dibandingkan antar wilayah," kata Aziz.
Sejak ditetapkan sebagai menteri, kebijakan Nadiem banyak menuai kontroversi dan penolakan oleh berbagai elemen masyarakat baik praktisi, akademisi dan organisasi. Pasalnya beberapa program yang dirumuskan terlalu besar mengeluarkan anggaran namun tidak sesuai dengan orientasi pendidikan nasional yang termuat dalam sistem pendidikan nasional.
Salah satu yang disoroti PII ialah Program Organisasi Penggerak, di mana anggaran yang dicanangkan dalam program tersebut berkisar sekitar Rp 595 miliyar yang dialokasikan untuk 156 ormas. Dalam lampiran peraturan sekretaris jenderal Kemendikbud, tertuang skema pembiayaan dibuat dengan tiga kategori yaitu gajah dengan jumlah Rp 20 miliar, macan Rp 5 miliar dan kijang Rp 1 miliar.
"Persoalan yang kemudian keliru ialah hampir sebagian besar penerima hibah tersebut tidak kredibel karena terdapat lembaga-lembaga CSR yang semestinya sudah menjadi tugas mereka menggunakan dana perusahaan dalam berkolaborasi memajukan pendidikan, justru masuk dalam institusi yang mendapatkan 'jatah' dari anggaran pendidikan," kata Aziz.
PII juga menilai, Kemendikbudristek menjadi disfungsi dengan empat indikasi. Pertama, kebijakan-kebijakan yang dihadirkan tidak dapat beradaptasi dengan masyarakat sekitar sehingga semakin memperpanjang ketimpangan pendidikan kota dan desa. Kedua, tidak ada pencapaian tujuan yang utuh dalam menyusun konsepsi pendidikan di masa yang akan datang. Setiap program dan kebijakannya selalu bersifat jargonistik dan tidak memiliki daya substansial.
Ketiga, kebijakan Kemendikbudristek tidak mampu melakukan harmonisasi antara kelompok masyarakat yang timpang sehingga kebijakan yang ada gagal melakukan integrasi. Keempat, sebagian besar agenda Kemendikbudristek bersifat reaksionis dan tidak mengindahkah nilai-nilai dan norma yang telah lama menjadi orientasi pendidikan nasional.