Jumat 12 Nov 2021 18:35 WIB

KAHMI Ungkap Deretan Kejanggalan Permendikbudristek No 30

Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 dinilai janggal

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: A.Syalaby Ichsan
 Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria.
Foto: @ArizaPatria
Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Nasional KAHMI mengeluarkan sikap soal Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. KAHMI mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam Permendikbudristek tersebut.

Majelis Nasional KAHMI menyambut positif Kemendikbudristek yang berinisiatif mengeluarkan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. KAHMI prihatin dengan kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Padahal kampus merupakan lembaga pendidikan yang di dalamnya ditegakkan nilai-nilai yang menjunjung tinggi moralitas.

Namun KAHMI menemukan kejanggalan dalam Permendikbudristek no 30. Pertama, adanya ketentuan yang secara konsepsional bertentangan dengan pertimbangan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai Pancasila, dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Kedua, mengemukanya pertimbangan nilai-nilai liberal yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai Pancasila, dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat.

"Ketiga, tidak diterapkannya asas keterbukaan dalam proses pembentukannya. Tidak tertib muatan, serta tidak mempertimbangkan kerangka otonomi kelembagaan perguruan tinggi," tulis pernyataan sikap yang ditandatangani Koordinator Presidium KAHMI Ahmad Riza Patria pada Jumat (12/11).

KAHMI menilai kejanggalan Permendikbudristek no 30 berpotensi kontraproduktif dalam penafsiran dan praktik kebijakannya di lapangan. Kemudian, KAHMI khawatir tujuan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi tidak dapat tercapai secara efektif.

Baca juga : Nadiem Bergeming, Permendikbud PPKS Tetap Berlaku di Kampus

KAHMI merinci kejanggalan tersebut terkait definisi kekerasan seksual di Pasal 1 Permendikbudristek no 30. Lalu di Pasal 5 dipertegas kembali dengan adanya frasa “persetujuan” yang justru dapat ditafsirkan aktivitas seksual yang dilakukan atas persetujuan korban tidak dianggap kekerasan seksual. 

"Ketentuan ini berpotensi dapat melegalkan seks bebas atau perzinaan, bahkan juga berpotensi melegalkan perilaku penyimpangan seksual LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang tidak saja bertolak belakang dengan nilai-nilai agama dan Pancasila, tetapi merupakan perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan," tulis sikap resmi KAHMI.

KAHMI menyinggung paradigma seks bebas yang berbasis persetujuan (sexual-consent) dalam Permendikbudristek no 30. Sexual-consent memandang standar benar dan salah dari aktivitas seksual bukan nilai-nilai dan ajaran agama, tapi persetujuan dari para pihak. Sehingga selama tidak ada pemaksaan, telah berusia dewasa, dan ada persetujuan, maka aktivitas seksual diperbolehkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah. 

"Paradigma yang lazim mengemuka di negara-negara liberal ini bertentangan dengan paradigma kehidupan sosial Negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Mengingkari nilai-nilai agama identik dengan mengingkari jatidiri bangsa yang bermartabat," tulis sikap resmi KAHMI.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement