REPUBLIKA.CO.ID, — Kebahagiaan yang sempurna tergantung pada tiga hal, yaitu potensi amarah, potensi syahwat, dan potensi ilmu.
Hal tersebut disampaikan Imam Abu Hamid Al Ghazali sebagaimana dinukilkan dalam delapan risalah, yaitu Kimiya as-Sa’adah (Proses Kebahagiaan), Ayyuha al-Walad (Wahai Anakku, Amalkan Apa Yang Kau Ketahui), as-Risalah al-Wa’dziyyah (Untaian Nasihat Keimanan), Mi’raj as-Salikin (Tangga-Tangga Para Salik), Misykat al-Anwar (Cahaya di Atas Cahaya), Minhaj al-Arifin (Jalan Para Pencari Tuhan, Al-Adab fi ad-Din (Etika Beragama), dan Risalah at-Thair (Risalah Burung).
Delapan kitab risalah tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam buku yang berjudul “Resep Bahagia Imam Al Ghazali”. Buku terbitan Turos Pustaka ini berisi delapan risalah karya Imam Al Ghazali yang memberikan jalan kepada umat Islam untuk mencapai puncak kebahagiaan.
Menurut dia, ketiga potensi tersebut harus diselaraskan untuk mencapai kebahagiaan sempurna. Ketika tiga potensi tersebut tidak berjalan secara harmoni, maka manusia akan sengsara. Misalnya, ketika amarah lebih unggul akan lahir kebodohan. Atau, jika syahwat lebih unggul, maka akan lahir keserampangan.
Lebih lanjut, Al Ghazali menjelaskan, seyoganya manusia meletakkan syahwat dan amarah di bawah kendali akal sehingga keduanya tidak melakukan apa pun kecuali atas perintah akal. Jika akal telah berbuat demikian, dia layak memiliki akhlak mulia. Inilah bagian dari sifat-sifat malaikat dan merupakan benih kebahagiaan. .
Manusia memang memiliki syahwat dan amarah binatang. Namun, menurut Al Ghazali, manusia dianugerahi hal lain yang membuatnya lebih unggul daripada binatang. Dengan anugerah ini, manusia mampu mencapai makrifatullah dan sejumlah keajaiban penciptaan-Nya.
Menurut Ghazali, setidaknya ada dua tahap kebahagiaan yang harus dilalui umat manusia, yaitu mengenal diri sendiri dan kemudian mengenal Allah SWT. Dua tahapan ini lah yang akan membawa manusia mencapai puncak kebahagiaanya.
Dalam kitabnya ini, Al Ghazali menjelaskan bahwa kunci untuk mengenali Allah (makrifatullah) adalah mengenali diri sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS Fushilat ayat 53)
Hal senada juga disampaikan Rasulullah SAW melalui sabdanya: من عرف نفسه فقد عرف ربه “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya.”