Jong Islamieten Bond
Menurut Husni, tahapan kedua dari genesis gerakan-gerakan pemuda terpelajar di Tanah Air awal abad ke-20 ditandai dengan terbentuknya Jong Islamieten Bond (JIB). Berbeda dengan seluruh organisasi kepemudaan (jong) yang ada sebelumnya, JIB tidak dikhususkan untuk identitas etnis tertentu. Sifatnya plural karena menerima secara terbuka keanggotaan dari berbagai suku bangsa Indonesia. Dari sanalah, kesadaran nasionalisme tumbuh subur dan menguat di antara unsur pimpinan, para anggota dan kader perhimpunan tersebut.
Sejarah Jong Islamieten Bond bermula dari gejolak dalam Jong Java sejak kongres tahun 1924. Ketua Jong Java saat itu, Raden Sjamsuridjal, mengusulkan kepada hadirin untuk mengagendakan kursus tentang Islam sebagai salah satu program tahun-tahun mendatang. Alasannya, Islam merupakan agama yang dipeluk kebanyakan pribumi. Sebagai calon pemimpin di tengah masyarakat, menurut Sjamsuridjal, para anggota Jong Java dipandang perlu untuk mengenal lebih dekat ajaran agama tersebut. Apalagi, pada faktanya cukup banyak di antara mereka yang beragama Islam.
Ia pun menghendaki kursus Islam tersebut tidak wajib bagi seluruh anggota Jong Java. Siapapun yang tertarik, dipersilakan hadir. Namun, proposalnya kemudian ditolak mayoritas peserta kongres. Hal itu cukup aneh. Sebab, beberapa kursus spiritual-keagamaan sudah diagendakan di Jong Java, seperti kajian tentang Kristen dan Teosofi. Mengapa giliran Islam ditolak?
Kongres itu dihadiri sejumlah tamu undangan, termasuk Haji Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan KH Ahmad Dahlan. Para tokoh senior itu dapat merasakan kekecewaan sang ketua Jong Java. Pada Desember 1924, ketiganya bertemu dengan Sjamsuridjal dan kawan-kawan di sebuah sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta. Pertemuan itu menghasilkan komitmen untuk membentuk suatu organisasi kepemudaan baru yang berasaskan Islam. Inilah cikal bakal JIB.
Pada Januari 1925, Sjamsuridjal memutuskan untuk meletakkan jabatan ketua Jong Java. Sesudah itu, sosok yang kelak menjadi wali kota Jakarta 1951-1953 tersebut terus menggalang dukungan demi mewujudkan perkumpulan baru. Akhirnya, pada 1 Maret 1925 JIB berdiri resmi di Jakarta.
Baca juga : Anggota Satpol PP tidak Berbusana Bersama PSK Diperiksa
Husni mengatakan, JIB terbentuk dengan semangat kaum muda Muslim terpelajar yang sedang meneguhkan jati diri di tengah hegemoni dan dominasi kolonialisme Barat. Tidak ada tendensi sebuah partai politik. Di hari pertama pembentukannya, organisasi ini berhasil merekrut 250 orang pengikut. Perkumpulan itu tidak membatasi keanggotaan pada suku etnis tertentu, melainkan hanya pada rentang usia—14 hingga 30 tahun. Anggaran dasarnya juga tak mengekang. Misalnya, anggota boleh beraktivitas di ranah politik, asalkan tidak membawa nama JIB.