REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Hakim di Amerika Serikat memerintahkan Facebook merilis catatan akun yang sekarang ditutup terkait dengan kekerasan anti-Rohingya di Myanmar. Hakim di Washington DC, AS mengkritik Facebook karena gagal memberikan informasi kepada penyelidik yang berusaha menuntut Myanmar atas kejahatan internasional terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya.
Menanggapi ini, Facebook menolak merilis data yang dimaksud. Facebook mengatakan itu akan melanggar undang-undang AS yang melarang layanan komunikasi elektronik untuk mengungkapkan komunikasi pengguna.
Namun, hakim mengatakan unggahan yang dihapus tidak akan tercakup dalam hukum. Kantor berita Reuters tidak dapat segera mengakses perincian putusan tersebut dan Facebook tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Penasihat Hak Asasi Manusia Shannon Raj Singh dalam cicitannya mengatakan keputusan penting tentang kewajiban Facebook untuk mengungkapkan informasi yang relevan dengan kasus genosida Myanmar yang dibawa oleh The Gambia di Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan salah satu contoh utama relevansi media sosial dengan pencegahan dan respons kekejaman modern.
Gambia sedang mencari catatan sebagai bagian dari kasus terhadap Myanmar di Pengadilan Internasional di Den Haag dan menuduh Myanmar melanggar Konvensi PBB tentang Genosida 1948.
Dilansir Aljazirah, Kamis (23/9), pihak berwenang Myanmar mengatakan mereka tengah memerangi pemberontakan bersenjata dan menyangkal melakukan kekejaman sistematis. Lebih dari 730 ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine barat Myanmar pada Agustus 2017 setelah tindakan keras militer yang termasuk pembunuhan massal dan pemerkosaan.
Selama 10 tahun terakhir, Facebook telah mendapat kecaman di Myanmar di mana Rohingya telah menjadi sasaran gelombang kekerasan karena banyaknya ujaran kebencian yang ditujukan kepada komunitas itu. Penyelidik dari PBB mengatakan platform tersebut memainkan peran kunci dalam menyebarkan ujaran kebencian yang memicu tindakan keras pada 2017.