Ahad 12 Sep 2021 06:09 WIB

Efek Serangan 9/11 ke Muslim, Kisah Lawan Stereotip Teroris

Umat Islam di Amerika Serikat justru terimbas serangan 9/11

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Umat Islam di Amerika Serikat justru terimbas setelah serangan 9/11. Ilustrasi tragede 11 September 2001.
Foto:

El-Sayed menyoroti sejarah terburuk Amerika, termasuk penipisan penduduk asli Amerika, perdagangan budak transatlantik, segregasi Jim Crow, penguburan Jepang, yang dilakukan atas nama Amerika. 

Pada peristiwa 9/11, jutaan Muslim Amerika terpanggil untuk membelanya. Menurutnya, saat itu para pemimpin mereka memberi tahu Muslim akan tindakan terbaik, yakni menundukkan kepala, menyesuaikan diri dengan mengubah nama, memperbaiki aksen mereka, dan menyembunyikan warisan mereka.

Menurut El-Sayed tugas patriotik itu adalah dengan menyetujui implikasi bahwa mereka bersalah sampai terbukti tidak bersalah dan mengambil hukuman kolektif itu dengan senyuman. El-Sayed menyaksikan kebangkitan dari supremasi kulit putih dan ujaran kebencian yang muncul di platform media sosial. 

Dia juga melihatnya dalam kebangkitan politik Donald Trump, yang erat dengan ketegangan nativisme, supremasi kulit putih dan otoritarianisme perang melawan teror. 

"Kita yang terlalu muda untuk mengetahui realitas politik sebelum 9/11 akan memahami bahwa diam adalah keterlibatan. Kegagalan kita untuk membela diri kita sendiri adalah kegagalan untuk membela Amerika sendiri," ujar El-Sayed. 

Karena itulah, El-Sayed mengatakan Muslim kemudian membangun ikatan koalisi dan aliansi dengan saudara-saudara di komunitas yang telah lama menderita supremasi kulit putih dan xenofobia. Mereka, komunitas Muslim, lantas merangkul nama mereka, cerita, dan warisan mereka. 

Dia mengatakan, komunitas Muslim memutuskan bahwa cerita mereka adalah bagian dari cerita Amerika. Karena itu, Muslim kemudian membuka jalan dalam diskusi publik, di majalah dan surat kabar serta di layar televisi. 

Tidak hanya itu, ratusan Muslim juga mulai mencalonkan diri untuk jabatan publik. Komunitas Muslim di Amerika Serikat muncul ke permukaan dan memprotes larangan perjalanan Muslim, kekerasan senjata, termasuk ketidakadilan pada orang kulit hitam di negara itu. Sementara itu, jutaan Muslim lainnya memilih untuk pertama kalinya. 

Bagi El-Sayed, Amerika adalah dan selalu sebuah perjuangan. Dia merasa bangga dengan komunitasnya. Meskipun beberapa pihak ingin memberi tahu mereka bahwa Amerika adalah 'darah dan tanah'. Konsep sejarah mereka dimulai dengan nyaman setelah orang kulit putih dari Eropa memusnahkan penduduk asli yang darahnya telah menghuni tanah Amerika sejak sebelum mereka tiba. Visi mereka tentang Amerika mengecualikan atau menundukkan mereka yang tidak terlihat seperti mereka, beribadah seperti mereka, atau berbagi warisan mereka. 

"Tetapi kami percaya bahwa Amerika bisa lebih kuat dari sekadar sebuah tempat dan masyarakat, tetapi seperangkat cita-cita manusia yang harus merangkul siapa pun yang berkomitmen pada kesetaraan, keadilan, martabat manusia, dan kebebasan sejati. Membela Amerika seharusnya tidak pernah berarti menanggapi dendam kesukuan dengan dendam kesukuan seperti yang terjadi di era pasca 9/11. Melainkan seharusnya berarti merangkul cita-cita yang melampauinya," tandasnya. 

 

 

Sumber: metrotimes

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement