REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshiddiqie, mengajak konstituennya untuk menyusun peta jalan kebijakan nasional Indonesia 2025-2045.
Hal yang dia sebut Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) atau Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) versi ICMI itu nantinya akan disumbangkan kepada presiden dan juga semua partai politik.
"Jadi terlepas dari perdebatan tentang perubahan UUD, ya sudah lah yang penting kita susun dulu versi kita. Nanti kita sumbangkan ke Presiden maupun ke semua partai," ungkap Jimly pada ICMI Podcast yang disiarkan secara daring, Kamis (9/9).
Dengan begitu, Jimly menyatakan, ICMI juga mempunyai impian untuk 20 tahun terakhir menjelang usia Indonesia yang ke-100 tahun pada 2045. Dia mengatakan, adanya perbedaan peta jalan yang ICMI bentuk dengan PPHN atau GBHN yang disusun partai nantinya tak menjadi soal.
"Yang penting ada record bahwa PPHN 2025-2045 ada elemen usulan ICMI. Saya kira ini memerlukan integrator, manager barangkali, bisa membantu sehingga di tengah kesulitan komunikasi begini kita terus memainkan peran pemikiran-pemikiran yang menjangkau kebutuhan jangka panjang," kata dia.
Jimly melihat, saat ini semua pejabat, terutama para politikus, sudah terjebak terlalu jauh dalam pragmatisme atau kepentingan-kepentingan jangka pendek. Menurut dia, itu semua terjadi karena tuntutan keadaan di mana sudah terdapat liberalisasi ekonomi dan politik yang terjadi secara berbarengan.
"Suasananya kaya begitu karena ada tuntutan keadaan. Liberalisasi ekonomi dan politik sekaligus. Jadi semua jabatan diperebutkan seperti politik pasar bebas. Seperti halnya di ekonomi juga begitu, ekonomi pasar bebas," ungkap Jimly.
Karena itu, dia menilai, ICMI perlu memfungsikan masjid dan kampus dengan imtaq dan ipteknya untuk membimbing mereka dari praktik pragmatisme pasar ekonomi dan pasar politik bebas tersebut. Saat menyatakan itu, dia juga mengutip apa yang dikatakan Rasulullah Muhammad SAW.
"Sebaik-baiknya tempat itu ya masjid, seburuk-buruknya tempat itu pasar. Mengapa gambaran pasar buruk, karena di dalamnya pragmatis," jelas dia. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu juga mnlihat, keputusan-keputusan yang dibuat para pembuat kebijakan kerap dilakukan secara gampang. Keputusan-keputusan yang dibuat dengan tidak saling mendengarkan pendapat yang lainnya.
"Jadi jangan sampai kita telat untuk memberi masukan, apalagi kalau kebijakan-kebijakan, keputusan-keputusan, yang berdampak panjang," ujar dia.
Dia mengkhawatirkan terkait kebijakan-kebijakan pada dunia pendidikan. Apabila kebijakan tersebut dibuat seperti itu, maka dampak yang akan ditimbulkan bagi bangsa ini adalah dampak jangka panjang.
"Maka marilah kita urunan ide, urun pemikiran, sambil membuka ruang komunikasi, ruang perdebatan substantif, bukan untuk mempersoalkan orang per orang, golongan per golongan, tapi ide-ide. Karena kebetulan zaman berubahnya cepat sekali," kata dia.
Jimly menuturkan, ruang publik yang dahulu dibayangkan akan masuk ke era reformasi dan era komunikasi saat ini justru terbalik. Dia menamakan era saat ini adalah era misinformasi dan era diskomunikasi.
Itu terjadi di saat publik diminta untuk bersilatuahmi, tapi nyatanya di ruang publik penuh dengan permusuhan dan kebencian.
"Semua orang saling mengecam. Dengan asumsi bisa menutupi identitas, semua jadi berani mengujat agama orang setiap hari. Dan kita juga semakin baper. Sekali kita baper sebagai komunikan, emosional, maka isi ruang publik sekarang ini penuh emosi, kebencian, permusuhan. yang ada semangatnya bukan kasih sayang, bukan silaturahim," kata Jimly.