REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ilham Bintang, Jurnalis Senior.
Sesaat setelah menerima kabar Panitia Masjid At Tabayyun menang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI, jamaah masjid itu langsung sujud syukur, Senin (30/8) siang. Sujud di Tenda Arafah -- julukan Tenda Masjid -- di Komplek Taman Villa Meruya, Jakarta Barat.
Tidak terbatas bersyukur karena memenangkan lahan seluas 1078m2 yang menjadi sengketa di PTUN. Tapi bersyukur, berhasil menguji kebenaran yang diyakini sejak semula di di depan hukum. Bersyukur merasakan keadilan lewat putusan PTUN.
Bersyukur dan bahagia karena membuktikan kebenaran jamaah dan juga Gubernur DKI yang memberi izin menempati lahan untuk pembangunan masjid. Proses hukum itu membuktikan mayoritas tidak selalu digdaya di atas minoritas.
Masjid At Tabayyun bersejarah karena didirikan di komplek perumahan mayoritas non Muslim. Semoga hal yang semestinya itu menjadi jurisprudensi bagi pembangunan rumah ibadah -- agama apapun dan di mana pun di Tanah Air.
Sujud syukur diinisiasi Marah Sakti Siregar, Ketua Panitia Pembangunan Masjid At Tabayyun. Tampak hadir siang itu para sesepuh warga yang dijuluki " "Walisongo" nya At Tabayyun. Yaitu : Erlangga, Ending Ridwan, Andre Suyatman, Apang Taufik, Budi Harto, antara lain. Yang selama ini " memakmurkan" Tenda Masjid. Juga ibu- ibu yang menyediakan logistik mendukung perjuangan suami mereka bangun masjid.
"Rasanya plong, seperti lepas dari mimpi buruk", ucap Marah Sakti Siregar, Senin petang.
Seumur hidup ia mengaku baru pertama kali merasakan suasana mencekam menghadapi Ketua-Ketua RT komplek TVM yang menolak pembangunan tapi dibungkus dengan pelbagai dalih. Ia tercengang Para Ketua RT yang menggugat begitu bebas nilai: tercerabut dari sistem nilai masyarakat Indonesia.
Luar biasa mereka menggunakan kekuasaannya yang melampaui batas kewenangan tupoksi ( tugas pokok dan fingsi) RT yang diatur oleh SK Mendagri no 6/2018. Lebih khusus lagi Pergub 171/2016. Yang menyedihkan perangkat Pemprov DKI tingkat Kecamatan maupun kelurahan seperti lepas kontrol mengawasi komplek ini.
Ketua RT yang dulu dikenal dalam masyarakat tradisional elemen utama kerukunan warga, dipraktikkan sebaliknya. Marah Sakti terpana para Ketua RT itu yang justru memprovokasi warga untuk menentang keputusan pemerintah daerah. Berbagai cara mereka lakukan, memprovokasi warga untuk menyabot kegiatan masjid dengan memasang poster yang menghasut, bahkan di WAG - Warga, penuh dengan intimidasi kepada warganya disertai ujaran kebencian.
Jamaah seperti makhluk asing di negeri sendiri. Rasanya, hanya di komplek ini Ketua RT -- yang merupakan lembaga kemasyarakatan yang juga perangkat Pemprov-- tapi terang-terangan menentang keputusan gubernurnya.
Hari itu, Marah dan kawan-kawan sudah meriung di tenda sejak pukul 10.00 WIB. Menantikan putusan Majelis Hakim PTUN yang sedianya disampaikan pukul 11 siang via e-court. Namun, molor hingga pukul 13.15 -- pas Muhammad Fayyadh meneruskan putusan PTUN ke mereka. Fayyadh adalah kuasa hukum Masjid At Tabayyun dari Firma Hukum Fayyadh & Partners. Bersama Mindo Simamora dari Biro Hukum DKI -- dua anak muda itu berhasil mengalahkan argumentasi hukum DR Hartono, SH, Kuasa Hukum Penggugat.
Dalam amar putusan Majelis Hakim PTUN yang diketuai Andi Ali Rahman dengan anggota Danan Priambada dan Indah Mayasari menolak gugatan kepada Gubernur DKI Anies Baswedan terkait izin pembangunan Masjid At Tabayyun. Persidangan perkara ini di PTUN termasuk cepat rampung. Dimulai April berakhir 30 Agustus. Namun, suasana mencekam itu hampir tiga tahun mereka rasakan.