REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) Daerah Istimewa Yogyakarta bekerja sama dengan Cangkir Opini menggelar focus group discussion bertema 'Pemuda dan Ekstremisme Beragama' di Sagan Heritage Hotel Yogyakarta, Senin (30/8). Acara dihelat dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Hadir sebagai narasumber Nasir Abbas (mantan napiter alumni Afghanistan), Subhan Setowara (Direktur Eksekutif RBC Institute AbdulMalik Fadjar), dan Mu'arif (sejarawan Muhammadiyah).
Ketua Umum DPD IMM DIY, M Akmal Ahsan, dalam sambutannya menyampaikan selain agenda kerjasama dialog dan FGD, DPD IMM Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga sedang fokus dalam sebuah gerakan kemanusiaan bernama JogjaBangkit.
“JogjaBangkit adalah wujud pergerakan untuk merespon pandemi. Gerakan ini setidaknya menyasar warga Isolasi Mandiri, pedagang terdampak, dan masyarakat marginal. Hingga hari ini ratusan sembako dan nasi bungkus telah didistribusikan kepada masyarakat dan masih akan terus berlangsung hingga beberapa waktu mendatang,” kata Akmal di Kota Yogyakarta dalam siaran.
Direktur Eksekutif Cangkir Opini, Zaki Ma'ruf menjelaskan, agenda diskusi dikonsep lebih aktif dan interaktif agar peserta dapat lebih aktif dalam berdiskusi dan tidak satu arah.
Baca juga :Taliban Kecam Serangan Drone AS di Kabul
“Agenda ini di awali dengan dialog tentang ekstrimisme dalam beragama, dan akan dilanjutkan dengan diskusi per kelompok yang nantinya akan melahirkan sebuah narasi dan gerakan dalam menyuarakan moderasi beragama,” kata Ma'ruf.
Mantan napiter alumni Afghanistan, Nasir Abbas, menceritakan tentang bagaimana awal mula serta perjalanannya mengenal teroris dan ekstremis. Dimulai dari ia pergi ke Afghanistan untuk melanjutkan pendidikannya hingga bergabung ke gerakan teroris dengan melewati beberapa organisasi, seperti Negara Islam Indonesia (NII).
“Dari umur 15 tahun saya sudah ke Afghanistan dengan niat untuk melanjutkan pendidikan, namun karena tidak memiliki ijazah pada akhirnya saya masuk NII, dan dari situ awal mula saya mengenal dengan gerakan terorisme dan ekstrimisme,” kata Nasir.
Direktur Eksekutif RBC Institute, Abdul Malik Fadjar, Subhan Setowara memaparkan tentang Taliban 2.0, yang pada hari ini, mereka lebih lihai dalam memprofilkan diri dalam media sosial.
“Taliban 2.0 melakukan //rebranding via Twitter// dan konten media sosial lainnya dengan menunjukkan ciri kekinian. Setelah memasuki Kabul misalnya, para militan Taliban lantas memosting video dan foto yang menampilkan para pejuang mereka sebagai sosok orang biasa yang mudah didekati,” katanya.
Sejarawan Muhammadiyah, Mu'arif menjelaslan tentang konsep dasar moderasi dalam beragama dengan menggunakan perspektif sejarah. “Fakta-fakta historis menunjukkan bahwa kekerasan dengan mengatasnamakan agama sudah terjadi sejak zaman Sahabat Nabi, biasanya dilatarbelakangi oleh politik,” jelas Ma'arif.