REPUBLIKA.CO.ID,ISTANBUL—Sultanahmet Square adalah salah satu tempat paling populer di Istanbul. Anda dapat melihat Masjid Hagia Sophia dan Masjid Biru. Dengan berjalan sedikit lebih jauh, anda dapat menemukan Istana Tangkap dan Tiang Ular peninggalaan Kaisar Bizantium Konstantinus Agung, dan tentu saja Obelisk Theodosius, dengan sejarahnya yang membentang dari Mesir hingga Roma.
Namun, ada harta lain yang tetap tersembunyi di antara semua bangunan bersejarah yang luar biasa ini, yaitu Museum Seni Islam Turki. Terletak tepat di belakang Masjid Biru, museum itu menyimpan ribuan artefak dari sejarah Islam, dan memiliki kisah pendirian yang sangat menarik, termasuk kisah perampasan arkeologis imperialisme di Timur Tengah.
Kekaisaran Ottoman, yang didirikan di atas warisan budaya yang kaya di tiga benua, menjadi tuan rumah berbagai penggalian oleh para arkeolog asing, tetapi juga menjadi sasaran banyak "penjarahan arkeologis."
Penyelundupan artefak sejarah dari kota-kota kuno seperti Troy atau dikenal dengan Heinrich Schliemann.
Pada akhir abad ke-19, ketika kekaisaran kelelahan karena perang yang berturut-turut, struktur Islam menjadi sasaran secara ekstensif. Beberapa orang Barat bahkan mulai membongkar struktur keagamaan historis yang masih digunakan. Bagian penting dari masjid dan kuil lainnya, seperti pintu dan ubinnya, secara rahasia diangkut ke Eropa.
Pada awal abad ke-20, pemerintah Utsmaniyah mencoba untuk melindungi peninggalan arkeologi kuno dan mengambil tindakan untuk melindungi dan melestarikan artefak Islam. Selama era Ürgüplü Mustafa Hayri (Mustafa Hayri dari Ürgüp), keputusan dibuat untuk memindahkan karya seni dari tempat-tempat keagamaan yang dijarah ke Istanbul. Namun, mengingat teknologi yang tersedia seabad lalu sangat tidak mendukung, maka sama sekali tidak mudah untuk mengangkut benda-benda berharga ke Istanbul.
Terlepas dari kenyataan ini, artefak dari berbagai kota, dari Thrace ke Damaskus, diangkut ke ibu kota, mulai dari karpet unik, ubin langka, manuskrip berharga, dan banyak lagi. Begitu tahun 1914, cukup banyak artefak yang dikumpulkan untuk mendirikan museum. Tahun itu, museum pertama yang menyatukan artefak Islam didirikan sebagai bagian dari Kompleks Süleymaniye, dengan nama “Museum Evkaf-ı Islamiyye” (Museum Yayasan Islam). Dengan demikian, artefak budaya Islam telah menemukan tempat berlindung.
Setelah Republik Turki berdiri, museum ini berubah menjadi Museum Seni Turki dan Islam (TIEM). Pada 1925, karena kebijakan baru yang membatasi kebebasan beragama, membuat tempat-tempat keagamaan seperti khankah (tempat retret spiritual), zawiya (sekolah agama Islam) dan makam ditutup oleh negara, dan membuat artefak dari tempat-tempat keagamaan dipindahkan ke museum.
Pada tahun 1983, TIEM dipindahkan ke Istana Pargalı Ibrahim Pasha (Ibrahim Pasha dari Parga) di Sultanahmet, dan masih beroperasi sampai sekarang. Di antara kumpulan artefaknya, beberapa yang menonjol adalah “Dokumen Damaskus”, kumpulan manuskrip tulisan tangan, benda-benda keramat, karya kaligrafi para sultan yang juga seniman, dan tentu saja karpet sejarah.
TIEM juga paling terkenal dengan koleksi karpetnya yang paling berharga di dunia, bahkan disebut sebagai Museum Karpet, karena memiliki lebih dari 1.700 karpet.
Karpet Seljuk dari abad ke-13 yang tidak dapat ditemukan di tempat lain dianggap sebagai salah satu karya paling berharga di museum. Dasar karpet ini diketahui telah mengilhami seniman Jerman abad ke-16 Hans Holbein the Younger dan pelukis Italia abad ke-16 Lorenzo Lotto. Fakta bahwa karpet-karpet ini, yang ditenun dari bahan-bahan organik yang diawetkan dan tetap utuh selama delapan abad membuat penonton merasa luar biasa.
Museum ini juga menyimpan peninggalan Rasulullah SAW, seperti jejak kaki dan janggut kekasih Allah SWT itu serta Al-Quran yang diyakini milik Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dua dari empat khalifah Islam pertama. Salah satu Al-Qur'an dalam inventaris museum kemungkinan adalah Al-Qur'an tertua di dunia, dan saat ini sedang dipelajari secara ilmiah.
Sumber: