REPUBLIKA.CO.ID, PARIS— Presiden Prancis Emmanuel Macron memaparkan tujuan di balik adanya Undang-Undang (UU) Anti-Separatisme baru yang kontroversial pada Oktober lalu. Pemerintah mengklaim UU tersebut dirancang untuk mengatasi bahaya separatisme Islam.
Beberapa pihak menyuarakan keprihatinan serius karena hal tersebut dapat menghambat kebebasan berekspresi dan meningkatkan diskriminasi. Menurut para kritikus, UU baru akan memengaruhi terhadap pembangunan masjid dan memperluas larangan Muslimah mengenakan jilbab di publik.
Jumat (23/7/2021) lalu, Parlemen Prancis mengesahkan UU tersebut. Saat ini Muslim di Prancis sudah merasakan efeknya. Berikut pengalaman tiga wanita Muslim Prancis tentang Islamofobia dan ketakutan mereka di masa depan.
Aisyah
Ibu lima anak ini dibesarkan di Mantes-la-Jolie, lingkungan kelas pekerja di luar Paris dan sedang mencari pekerjaan. Pada 1994 ketika dia berusia 14 tahun, sebuah dekrit pemerintah menyarankan sekolah untuk melarang pemakaian simbol agama yang mencolok.
“Saya adalah seorang siswa teladan sampai pada titik saya menolak untuk melepas jilbab saya. Saya ingat banyak pihak yang mencoba mengintimidasi saya,” kata Aisyah.
Aisyah mengaku dipaksa datang ke sekolah tapi dilarang mengikuti pelajaran. Selain itu, dia juga tidak diizinkan ke taman bermain dan bergaul ke sesama siswa lain. Melihat situasi ini, komunitas Muslim lokal menyuruhnya untuk melepas jilbab sementara tapi dia menolak dengan tegas.
Aisyah mengaku larangan jilbab membuat dia berada dalam kondisi sulit terutama dalam hal pendidikan. Bagi dia, aturan itu merusak identitasnya dan agama Islam.
“Ini menghancurkan kepercayaan diri saya. Saya kehilangan diri saya dan menikah dalam usia muda. Suami saya bersikeras saya memakai cadar tapi saya menolak. Kami bercerai ketika saya berusia 20 tahun,” ujar dia.
Adanya UU Anti-Separatisme membuat Aisyah takut akan ada wanita Muslim lain yang mengalami hal serupa seperti dirinya. Kendati disebut untuk melindungi sekularisme, UU ini merupakan pelanggaran besar.
“Saya percaya akan ada kejadian buruk datang. UU ini melegitimasi perilaku yang lebih buruk karena membenarkan narasi yang mendasari bahwa kita (umat Islam) adalah masalah,” tambahnya.