REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Media-media keagamaan menjadi salah satu faktor penting yang menentukan bagaimana harmoni dalam kehidupan beragama di era digital dapat terjalin dengan sebaik-baiknya. Hal ini disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti, saat menjadi narasumber Webinar Sarasehan Jurnalis Lintas Agama bertema Peran Media Keagamaan Dalam Mewujudkan Harmonisasi Keberagaman.
Prof Mu’ti mengatakan, melihat pada awalnya media-media keagamaan itu dikembangkan dan dipublikasikan untuk kepentingan internal, baik yang bersifat komunikasi maupun yang bersifat pembinaan iman. Serta berbagai hal lain yang berkaitan dengan fungsi-fungsi keagamaan dari lembaga-lembaga keagamaan.
"Pada perkembangannya kemudian media-media keagamaan itu terutama yang ditampilkan dalam bentuk media sosial maupun media yang ditampilkan lewat website itu kemudian tidak menjadi domain internal lagi, tapi itu menjadi bagian dari domain yang bisa diakses oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja," kata Prof Mu’ti dalam webinar yang digelar Institut Leimena bersama Komisi Informasi dan Komunikasi MUI, Rabu (14/7).
Ia mengatakan, sekarang masyarakat mengalami era dimana informasi membludak dengan sangat luar biasa, semuanya bisa diakses dengan begitu mudah dan cepat. Banyak persoalan yang muncul dari berbagai pemberitaan internal media keagamaan itu yang memang kemudian menjadi bagian dari diskursus publik. Kadang-kadang pada level tertentu menimbulkan ketegangan antarumat beragama.
"Kita bisa mengikuti (melihat) bagaimana video-video yang dibuat oleh individu atau mungkin artikel atau pernyataan dari tokoh atau dari masyarakat biasa yang itu bisa menjadi sebuah persoalan yang serius di ruang publik bahkan mungkin sampai berujung ke pengadilan," ujarnya.
Menurutnya, hal itu sesuatu yang tidak seharusnya terjadi tetapi memang itu tidak bisa dihindari. Karena akses kepada media sekarang terbuka. Sementara yang sering kali menjadi persoalan, sebenarnya bukan pemberitaan yang resmi dari lembaga-lembaga keagamaan, tapi pernyataan-pernyataan pribadi oleh individu-individu umat beragama. Kadang-kadang pernyataan itu secara sengaja barangkali dibuat untuk kepentingan yang bersifat provokatif.
"Untuk itu kita memang harus melihat berbagai dimensi yang ada, kadang-kadang kita ini juga terlalu sensitif terhadap pernyataan-pernyataan yang bernuansa keagamaan, apalagi jika muatannya agak menyinggung agama-agama yang lain. Kadang-kadang kita tidak bisa memahami secara persis sebenarnya apa maksud dari orang membuat pernyataan itu karena orang sekarang hidup dalam era yang disebut narsisme," jelasnya.
Prof Mu'ti mengatakan, sekarang banyak orang narsis ingin terkenal dengan membuat pernyataan kontroversial. Jadi kadang-kadang yang membuat pernyataan itu bukan individu yang taat beragama, bukan juga orang yang selama ini punya komitmen dalam beragama, tapi orang yang ingin terkenal saja. Kadang-kadang tujuannya hanya untuk meningkatkan pengikut akun media sosialnya. Pertimbangannya selain popularitas juga ekonomi, karena katanya kalau pengikut akun media sosialnya banyak, bayarannya juga banyak.
Untuk diketahui, Webinar Sarasehan Jurnalis Lintas Agama ini digelar Institut Leimena bersama Komisi Informasi dan Komunikasi MUI. Sejumlah narasumber yang hadir di antaranya Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho, Wakil Ketua Umum MUI KH Marsudi Syuhud, Ketua MUI KH Masduki Baidlowi, Ketua Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Henriette T Hutabarat-Lebang, dan Tokoh Konghucu Js Kristan. Kemudian ada Program Manager DAAI TV Paulus Florianus, Penasehat Life Channel TV MNC Vision Jessica Tanoesoedibjo, dan Ketua Dewan Pers 2016-2019 Yosep Adi Prasetyo.