Selasa 22 Jun 2021 21:31 WIB

Hadirkan Pemikiran Bung Hatta di Negeri Ini

Menghadirkan Kembali Pemikiran Bung Hatta, Keadilan Sosial dan Kemakmuran Merata

Rep: Amri Amrullah/ Red: Muhammad Subarkah
Wakil Presiden Moh Hatta di stasiun Yogyakarta menyambut pejuang Siliwangi yang melakukan hijrah.
Foto: Gahetna.nl
Moh Hatta.

Hatta dan pragmatisme politik-ekonomi masa kini

Kritik yang sama juga disampaikan Riwanto Tirtosudarmo melihat lanskap pemikiran Bung Hatta, ketika dikontektualisasikan dengan perkembangan ekonomi yang semakin liberal saat ini. Peneliti Sosial Independen, dan Pendiri KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik) ini berusaha mencoba membaca Pemikiran Hatta agar Pasal 33 tetap lebih hidup di tengah pragmatisme ekonomi saat ini.

Bagi Hatta, sambung dia, menciptakan kemakmuran adalah yang terpenting. Meskipun keterlibatan Bung Hatta di pemerintahan tidak lama seperti Bung Karno, namun setelah ia tersingkir dari politik ia terus menuangkan pemikirannya melalui berbagai tulisan dan buku buku tentang ide ekonomi dan kesejahteraan.

Tulisan-tulisan Bung Hatta terhadap pemikiran ekonominya inilah yang kemudian disusun menjadi buku. Dimana oleh LP3ES kemudian dibuat buku ide pemikiran berseri, seperti buku keempatnya yang berjudul "keadilan sosial dan kemakmuran".

"Bung Hatta bisa membedakan bagaimana politik dengan tidak harus mengorbankan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat," kata Riwanto.

Bila melihat tulisan dan cita-cita kemakmuran rakyat Bung Hatta itu, dia menegaskan, saat ini semakin jauh dari harapan Bung Hatta. Sebuah contoh, Pasal 33 dalam UUD 45 yang diusulkan oleh Bung Hatta, sudah seperti mitos yang sulit diwujudkan. 

"Padahal dalam tulisan Bung Hatta sangat jelas dan gamblang bagaimana mewujudkan Pasal 33 tersebut, seperti yang ditulis pada 1977 pada kongres ISEI," terangnya.

Pasal ini, menurut dia, memuat kebijakan politik ekonomi menuju kemakmuran rakyat yang bersatu, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dalam perjalanan bangsa, Bung Hatta melihat kejatuhan Bung Karno sempat menjadi harapan baru merealisasikan pasal 33 itu. Namun kenyataannya pemerintahan Orde Baru kembali melakukan pengkhianatan Pasal 33 itu.

Dan itu, ditegaskan Riwanto, terus berjalan hingga Bung Hatta wafat pada 1980, dan hingga dua dekade berjalannya Orde Reformasi. Dimana kebijakan politik ekonomi yang betul betul mensejahterahkan, memakmurkan dan berkeadilan sosial tidak kunjung direalisasikan. 

"Kebijakan yang paling terlihat adalah kebijakan soal tambang dan arah pembangunan kesejahteraan serta keadilan sosial," imbuhnya.

Hal yang sama disampaikan Peneliti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Pemerhati pemikiran kenegarawanan Bung Hatta ini mengkaji banyak tulisan-tulisan Bung Hatta mulai dari ia diasingkan ke Boven Digul hingga pasca di masa senjanya. Diakui Bivitri walaupun ada tulisan yang ditulis dengan rentang waktu 1930-1970an ternyata masih sangat relevan, dengan keadaan saat ini.

"Ini menunjukkan konsistensinya dalam membahas ekonomi kerakyatan, khususnya pada buku 4 LP3ES ini dalam judul Keadilan Sosial dan Kemakmuran," tegasnya.

Yakni bagaimana pemikiran Bung Hatta mulai dari kebijakan ekonomi globalisasi hingga pinjaman luar negeri yang menjerumuskan ekonomi. Tapi dari setiap pemikiran Bung Hatta, ia melihat dari beberapa konteks. Pertama konteks bangunan bangsa Indonesia, kedua konteks kemerdekaan bangsa, ketiga konteks menuju kemakmuran bangsa, konteks keadilan sosial dan politik ekonomi.

"Politik dan ekonomi memang tidak bisa dipisahkan tapi tetap harus dibedakan agar konteks keadilan sosial bisa dicapai, bukan hanya untuk tujuan politik tertentu. Ini refleksi saya melihat kondisi riil yang harus dilakukan untuk mengelola kekuasaan untuk kemakmuran dan keadilan sosial," papar Bivitri.

Jadi, menurut dia, sebagai tokoh dan politisi kritik Bung Hatta, seharusnya bukan hanya menggunakan kebijakan politik, seperti menaikkan pajak demi mengejar ekonomi, tapi mengabaikan keadilan sosial bagi rakyat. Tapi juga bagaimana kebijakan politik bisa tetap mengangkat kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan sosial. "Jadi ini menurut saya masih sangat relevan saat ini," terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement