Kamis 10 Jun 2021 14:28 WIB

Perbedaan AS dan Prancis Dalam Memperlakukan Muslim

Representasi Islam dan Muslim di Barat dinilai masih buruk.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
Perbedaan AS dan Prancis Dalam Memperlakukan Muslim. Foto: Islamofobia (ilustrasi)
Foto: Bosh Fawstin
Perbedaan AS dan Prancis Dalam Memperlakukan Muslim. Foto: Islamofobia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK—Abdennour Toumi, Pakar Afrika Utara di Pusat Studi Strategis Timur Tengah (ORSAM) menyoroti alasan buruknya representasi Islam dan Muslim di dunia Barat. Bagitu juga dengan masih tingginya komunitas Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) untuk tinggal di Amerika Serikat, meski kebijakan AS yang tidak kohoren dan prilaku ‘keras’ terharap para migran, khususnya Muslim.

Sejak serangan 9/11 yang fenomenal, Muslim di AS mendapat strigmatisasi dan menjadi sasaran rasis baik verbal maupun fisik. Perlakuan yang berlandaskan kebencian dan balas dendam dari kelompok pembenci Islam maupun sayap kanan telah mendorong komunitas Muslim di AS hidup dalam tekanan dan rasa bersalah atas tindakan yang tidak mereka lakukan.

Baca Juga

‘Pelabelan’ Islam juga semakin buruk di Prancis. Merujuk pada proyek kompleks mega Islam di Strasbourg, Prancis, disebut akan menjadi masjid terbesar di Eropa, yang menuai kritik dan protes dari politisi sayap kanan Prancis. Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin bahkan menuduh dewan kota dan walikotanya menghabiskan uang rakyat untuk mendanai proyek itu. Pihak oposisi menuduh pejabat kota di Strasbourg, yang dijalankan oleh walikota Partai Hijau, menyetujui hibah sebesar $3,05 juta (Rp. 49.8 miliar) kepada Konfederasi Islam Milli Görüş (CMIG), sebuah kelompok yang mewakili diaspora Turki di Eropa.

Padahal, Walikota Strasbourg Jeanne Barseghian mengatakan proyek dimulai pada 2017, dan dia baru mulai menjabat pada Mei 2020 dan dana yang diberikan kepada CMIG adalah rencana pembiayaan yang solid dan konfirmasi nilai-nilai Republik. Meskipun demikian, Darmanin tidak terlalu senang dengan fakta bahwa CMIG adalah salah satu dari tiga konfederasi Muslim di Prancis yang menolak menandatangani piagam anti-ekstremisme baru yang dipromosikan oleh Macron.

Sebelumnya, kelompok empat, terdiri dari Presiden Prancis Emmanuel Macron, Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin, Menteri Kewarganegaraan Marlene Schiappa dan Menteri Pendidikan Jean-Michel Blanquer, dengan tegas menentang apa yang mereka sebut sebagai ‘radikalisme Islam’, mengatakan bahwa mereka akan berjuang melawannya di setiap kesempatan.

“Sejak serangan pada Januari 2015 yang terjadi di Prancis, diklaim didalangi oleh kelompok radikalis Muslim, politisi sayap kanan telah mengubah kebijakan publik dari masalah keamanan domestik menjadi masalah sosial imigrasi dan identitas nasional setelah serangan,”  tulis Abdennour Toumi, yang dikutip di Daily Sabah, Kamis (10/6).

Salah satu contoh adalah RUU "anti-separatisme" telah disetujui dua bulan lalu di Senat, yang melarang pemakaian cadar. Parlemen Prancis juga telah mengesahkan undang-undang yang akan mewajibkan kelompok-kelompok Muslim untuk memotong pendanaan asing yang besar karena pidato keagamaan dianggap oleh undang-undang baru sebagai ujaran kebencian.

"Kami yakin asosiasi ini tidak bisa lagi berada di antara wakil-wakil Islam di Prancis," kata Darmanin tentang CMIG di televisi BFM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement