Rabu 12 May 2021 18:20 WIB

Khutbah Idul Fitri: Memaknai Fitrah Menuju Indonesia Maju

Khutbah Idul Fitri KH Nurul Badrut Tamam mendudukkan makna fitrah

Khutbah Idul Fitri KH Nurul Badrut Tamam mendudukkan makna fitrah. Ilustrasi sholat idul fitri
Foto:

Seorang yang ber-Idul Fitri  Fitri dalam arti telah mampu mengembalikan fitrahnya, diharapkan dapat berbuat yang indah, baik dan benar. Perbuatan baik akan menimbulkan etika dan menciptakan tatanan kehidupan yang tertib dan harmonis, sementara kebenaran akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang akan mengantarkan kemajuan peradaban umat manusia. 

 

Allahu Akbar 3X, Allahu Akbar Walillahilhamd

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang saya cintai

Oleh karena fitrah manusia dapat berubah dari waktu ke waktu. Berubah karena pergaulan, karena pengaruh budaya dan lingkungan, karena latar belakang pendidikan dan lain-lain, maka agar fitrah itu tetap terpelihara kesuciannya, hendaknya ia selalu mengacu pada pola kehidupan islami yang berlandaskan Alquran dan as-Sunnah, pola kehidupan yang bernafaskan nilai-nilai agama dan akhlakul karimah. 

Sehingga darinya diharapkan mampu membangun manusia seutuhnya, insan kamil yang memiliki keteguhan iman, keluasan ilmu pengetahuan serta cakap dalam menyikapi dan menjawab berbagai peluang dan dinamika kehidupan. Karena itu segala kebiasaan baik yang telah kita lakukan di bulan suci Ramadhan berupa ibadah puasa, qiyamullail, tilawah dan tadarus Alquran, menyantuni fakir miskin dan yatim piatu, mengendalikan amarah dan hawa nafsu hendaknya tetap kita lestarikan. Dan bahkan kita tingkatkan sedemikian rupa agar menjadi tradisi baik dalam diri, keluarga dan lingkungan masyarakat kita. Sehingga fitrah yang telah kita raih di hari yang agung ini tetap terpelihara dengan baik hingga akhir kehidupan kita.

 

Allahu Akbar 3X, Allahu Akbar Walillahilhamd

Ibu Bapak Hadirin semua yang selalu dimulyakan Allah 

Seperti kita ketahui bahwa tujuan final (ghoyah) disyari’atkan ibadah puasa adalah untuk membentuk pribadi muttaqin yang memiliki sifat dan karakter seperti disinyalir Allah SWT dalam Alquran surat Ali Imran ayat 134-135 :

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. وَالَّذِيْنَ إِذَافَعَلُوْا فَاحِشَةً أَوْظَلَمُوآ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوْبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ اللهُ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلَىمَافَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Artinya : “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”.

Dengan menghayati pesan ayat tersebut, maka segala aktifitas ibadah yang kita laksanakan hendaknya tidak hanya sekedar terjebak pada rutinitas ritual yang kering dari makna, akan tetapi amaliyah ibadah yang kita jalankan seharusnya mampu menangkap hikmah syariah di balik pelaksanaan ibadah kita, yaitu menata perilaku kita dari ketalehan menuju kesahihan, dari kekotoran menuju kesucian, dari kebrutalan menuju keramahan, dari kekikiran menuju kedermawanan, dari kedzaliman menuju keadilan dan seterusnya. Sebab seluruh amal ibadah yang disyariatkan Islam sesungguhnya oleh dan untuk manusia itu sendiri.

Orang bijak sering menyatakan: “Hidup ini laksana roda berputar”. Sekali waktu bertengger di atas, di waktu lain tergilas di bawah. Kemaren penguasa sekarang rakyat jelata, kemaren kaya sekarang jatuh miskin, bahkan kemaren kita sehat saat ini mungkin menderita sakit. Sebagai seorang mukmin, tidak ada celah untuk menyatakan frustasi dan menyerah dengan keadaan, akan tetapi kita harus tetap optimis, bekerja keras dan cerdas seraya tetap mengharap bimbingan Allah SWT. 

Karena sesungguhnya rahmat dan ma’unah-Nya senantiasa bersama hamba yang sabar dan teguh menghadapi ujian-Nya, sebagaimana orang mukmin tak boleh hanyut dengan godaan dan glamornya kehidupan. Orang mukmin harus terus menerus berusaha mengobarkan obor kebajikan, menebarkan marhamah, menegakkan dakwah, merajut ukhuwah dan menjawab segala tantangan dengan penuh kearifan dan kesungguhan. Bukankan Allah SWT telah berjanji dalam Alquran surat Ali Imran ayat 139 :

وَلاَتَهِنُوْا وَلاَتَحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ Artinya: “Dan janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”.

Abu Hamid bin Muhammad Al Ghazali dalam karya Ihya Ulumuddin menggambarkan penghuni kehidupan dunia laksana seorang pelaut yang sedang mengarungi samudera, satu tarikan nafas bagaikan satu rengkuhan dayung, cepat atau lambat biduk yang ditumpangi akan mengantarkannya ke pantai tujuan.

Dalam proses perjalanan itu, setiap nahkoda berada di antara dua keresahan: antara mengingat perjalanan yang sudah dilewati dengan rintangan gelombang yang dahsyat dan antara menatap sisa-sisa perjalanan yang masih panjang dimana ujung rimbanya belum tentu mencapai keselamatan.

Gambaran kehidupan ini hendak mengingatkan agar kita senantiasa memanfaatkan umur yang kita miliki dengan sebaik-baiknya, usia yang masing-masing kita punyai akan menghadapi tantangan zaman dan selera kehidupan yang menggoda haruslah kita pergunakan secara optimal untuk memperbanyak belak guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup di akhirat kelak. Suatu saat Lukmanul Hakim pernah memberikan taushiyah kepada putranya

يَا بُنَيَّ !! إِنَّ الدُّنْياَ بَحْرٌ عَمِيْقٌ وَقَدْ غَرِقَ فِيْهَا أُنَاسٌ كَثِيْرٌ فَاجْعَلْ سَفِيْنَتَكَ فِيْهَا تَقْوَى اللهِ وَحَشْوَهَا اْلإِيْمَانُ وَشِرَاعَهَا التَّوَكُّلُ عَلىَ اللهِ لَعَلَّكَ تَنْجُو

Artinya : “Wahai anakku, sesungguhnya dunia ini laksana lautan yang dalam dan telah banyak manusia tenggelam di dalamnya, jadikanlah taqwa kepada Allah SWT sebagai kapal untuk mengarunginya, iman sebagai muatannya, tawakal sebagai layarnya, niscaya Engkau akan selamat sampai tujuan”.

Terakhir, sekali lagi !!! Sudah saatnya kita budayakan hidup di bulan Ramadhan menjadi budaya standar kita. Budaya bangun malam, misalnya yang sering kita gunakan untuk sahur, jangan pernah kita lepaskan untuk sholat malam. Shaum di bulan Syawal selama enam hari, sebagai kelanjutan penyempurna Ramadhan teruskan dengan shaum Senin-Kamis. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement