REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Didin Solahudin
Pada situasi normal, kegiatan mudik sebenarnya sangat mulia. Mudik itu komitmen dan ekspresi silaturahim. Itu penting bagai semen perekat masyarakat, bagai besi pengokoh harmoni. Sebagai pergerakan kohesi sosial, mudik amatlah penting bagi spirit kebangsaan dan konstruksi kenegaraan.
Namun, tidaklah demikian arti penting mudik pada situasi pandemi. Mudik pada situasi pandemi bisa berubah menjadi sebentuk kezaliman.
Alih-alih bermakna maslahat, mudik malah berdampak mudarat. Dipandang mulia pada saat normal, pelaku mudik saat pandemi malah bisa dianggap berdosa, bukannya berjasa dan berpahala.
Inilah penjelasan mengapa Nabi melarang orang pergi keluar dari area wabah. "Jika kalian mendengar tentang wabah di suatu negeri, janganlah kalian memasukinya. Tetapi, jika terjadi wabah di daerah kalian berada, janganlah kalian meninggalkan daerah itu." (HR Bukhari 3.214; Muslim 4108).
Satu orang keluar dari wilayah wabah, ribuan orang di luar wilayah itu terancam tertular dan terpapar. Alquran mengingatkan, pergerakan meninggalkan area wabah itu begitu besar tingkat kezalimannya, sedemikian rupa sehingga satu orang pergi mudik itu berdosa seolah-olah mengancam nyawa semua orang dan, sebaliknya, satu orang tidak mudik itu berjasa seolah-olah menyelamatkan nyawa semua orang (lihat QS 5: 32).
Seyogianyalah bagi seorang Muslim, rasa khawatir menularkan itu jauh lebih besar dari pada rasa takut tertular. Menularkan adalah kezaliman terhadap orang lain dan tentu dosa. Tertular adalah kelengahan yang hanya zalim terhadap diri sendiri. Sabda Nabi, berhati-hatilah dari kemungkinan melakukan apa pun bentuk kezaliman sebab kezaliman itu akan menjelma menjadi gumpalan-gumpalan kegelapan di hadapan si zalim kelak pada hari kiamat (Muslim 4675).