REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Al-Khathirat, atau pikiran yang hanya selintas, atau juga bisa diartikan angan-angan, adalah awal dimulainya kegiatan, entah itu baik maupun buruk. Angan-angan merupakan cikal-bakal munculnya keinginan, yang tidak menutup kemungkinan menjadi tekad yang bulat.
Namun, berangan-angan juga berbahaya dan bisa membinasakan diri seseorang. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ۗ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
"Dan orang-orang yang kafir, amal perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila (air) itu didatangi tidak ada apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan (amal-amal) dengan sempurna dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya." (QS An Nur 39)
Orang yang dipenuhi banyak angan-angan, akan dipuaskan kepalsuan. Karena itu, siapa yang mampu mengendalikan pikiran yang terlintas dalam benaknya, akan mampulah dia mengendalikan diri dan menaklukkan hawa nafsu.
Sementara, mereka yang tidak bisa mengendalikan angan-angan, hawa nafsu akan mengendalikan dirinya. Maka jangan anggap enteng soal angan-angan ini, jika tak ingin terjerumus pada kebinasaan.
Manusia yang paling hina adalah yang merasa puas dengan angan-angan yang isinya cuma pepesan kosong. Padahal, angan-angan itu hanya dimiliki para pengangguran, orang-orang yang bangkrut, dan mereka dengan jiwa yang kosong. Seorang penyair berkata soal angan-angan:
أماني من سعدى رواء على الظما سقتنا بها سعدى على ظمأ بردا منى إن تكن حقا تكن أحسن المنى وإلا فقد عشنا بها زمنارغدا
"Angan-anganku untuk mendapatkan kebahagiaan, bisa menghilangkan dahaga. Dengan angan-angan, kebahagiaanku memberikan air dingin ketika haus. Angan-angan ketika menjadi kenyataan tentu menjadi kebahagiaan. Jika tidak, sungguh kita hidup bahagia hanya beberapa saat bersama angan-angan."
Angan-angan lahir dari ketidakmampuan dan kemalasan yang kemudian menyebabkan sikap abai yang ujungnya adalah penderitaan dan penyesalan. Angan-angan membuat seseorang terpesona dengan kemegahan yang disuguhkan, lalu dia memegangnya erat-erat dan tidak mau melepasnya. Pada akhirnya, dia merasa puas dengan khayalan. Padahal itu semua tidak bermanfaat.
Imam Syafii pernah berteman dengan orang-orang sufi dan tidak memperoleh manfaat kecuali dua kalimat ini. Pertama, "Waktu bagaikan pedang, bila tidak digunakan dengan baik, maka bisa menebasmu." Kedua, "Nafsu yang tidak disibukkan dengan kebenaran, akan membawamu pada kebatilan."
Siapa yang berhasil mengisi seluruh waktunya hanya untuk Allah dan bersama Allah, maka itulah usia kehidupan yang sejati. Sedangkan usia yang tidak digunakan untuk mengabdi pada Allah SWT, maka tidak dihitung sebagai usia kehidupan meski secara wujud memang hidup tetapi ia bagaikan binatang ternak.
Orang yang menghabiskan waktunya untuk berangan-angan, lalai, melampiaskan syahwat, tidur dan menganggur, lebih baik mati ketimbang hidup. Hamba yang menunaikan sholat, pun hanya mendapatkan nilai sesuai apa yang dipahaminya tentang sholat.
Hati yang kosong, jika tidak diisi pikiran-pikiran positif, tentu akan diisi pikiran kotor. Seorang penyair berkata, "Aku didatangi hawa nafsu sebelum aku mengenal hawa nafsu. Masuklah ia ke dalam hati yang kosong, sehingga bisa menguasai diriku."
Dialah Umar bin Khattab yang bisa menjadi contoh dari orang dengan pikiran yang dipenuhi keinginan mencari ridha Allah SWT. Mungkin dia melaksanakan sholat dan di saat bersamaan juga mempersiapkan bala tentaranya untuk berjihad.
Dengan demikian, dia melakukan banyak ibadah dalam satu waktu ibadah dan ini sungguh mulia dan agung. Tidak ada yang bisa mencapai tahap ini kecuali mereka yang berilmu lapang dan berkeinginan kuat mencari keridhaan Allah SWT sehingga dapat merengkuh satu ibadah disertai ibadah-ibadah yang lain.
Sumber: islamweb