REPUBLIKA.CO.ID, Seorang Kristiani, Kathryin Shihadah menunjukkan kekaguman pada perjuangan seorang gadis kerabat suaminya yang berasal dari Gaza, Palestina. Sejak kecil dia tetap berjuang untuk berpuasa di tengah gempuran Israel termasuk pada Jumat (23/4) lalu ketika umat Islam sedang berahur, Israel menjatuhkan bom ke pemukiman Muslim di Gaza.
Kathryin menuliskan pengalaman Hanin, cucu dari bibi suaminya Zahiyah yang telah berusia 94 tahun yang juga berasal dari Gaza. "Saya mendengar bahwa Israel menjatuhkan bom di Gaza (Kamis malam hingga Jumat pagi) lalu, jadi saya bertanya padanya apakah semua orang baik - baik saja," ujar Kathryn.
Hannin mengatakan bahwa serangan udara terjadi tepat ketika semua orang Gaza sedang makan sahur, ini bukan kebetulan. Politisi Israel tahu bahwa jika mereka menghentikan sahur, warga Gaza akan memulai puasa tanpa makan seperti biasa, dan menjadi sangat lapar serta lemah sepanjang hari berikutnya.
Ini adalah perbuatan jahat yang bukan hal baru bagi mereka. Pada 2014 perang pecah pada Ramadhan. "Kami terus-menerus ketakutan dan cemas, saya selalu takut kehilangan seseorang dari keluarga saya. Itu adalah salah satu perang tersulit yang pernah saya alami," ujar dia.
Kathryn menyayangkan tindakan AS yang memberikan subsidi kepada Israel sebesar 10 juta dolar per hari atau sekitar Rp 144,8 miliar untuk bantuan militer dan menghancurkan keluarga seperti Hanin yang saat itu masih muda.
"Saya malu pada orang Kristen yang mendukung Israel. Dalam semangat pendidikan Ramadhan bagi pengikut Yesus, saya meminta maaf kepada Hanin untuk menceritakan sedikit tentang perang yang dimulai Israel selama Ramadhan 2014," ujar dia.
Hanin menceritakan kisahnya pada 2014 kepada Kathryn saat itu. Gadis berusia 24 tahun telah hidup di Haza hingga saat ini. Saat itu Hanin baru berusia 17 tahun dan perang terjadi bulan Juli dan berpuasa selama 16 jam sehari dan sangat panas pada 11 Ramadhan bertepatan dengan 8 Juli 2014, hari dimulainya perang.
"Kadang kadang, suara tembakan terdengar konstan. Kami hidup dalam kecemasan terus-menerus, takut kehilangan anggota keluarga. Kami mendapat listrik hanya empat jam sehari, jadi kami hidup dalam dua kegelapan, kegelapan tanpa listrik dan kegelapan perang," jelas Hanin dalam suratnya.
Setelah malam yang mengerikan, ketika hampir fajar dan waktu sahur, Hanin akan mencari lilin untuk menerangi makan sahur keluarga begitu juga ketika iftar.
Bukan kegembiraan yang dirasakan seperti umumnya umat Muslim yang merayakan Ramadhan. Karena pemmboman, mereka ketakutan dan cemas bahkan anak-anak ikut merasakannya. Mereka akan duduk dan mendengarkan radio untuk mendengarkan berita tentang pengeboman terbaru. Mereka duduk di satu ruangan bersama.
"Jika kami mati biarkan kami mati bersama. Saya ingat pernah sakit selama perang. Saya mengalami demam selama tiga hari, jadi ibu saya memutuskan untuk membawa saya ke rumah sakit dengan mobil," tutur Hanin.
Pesawat Israel membom mobil apa pun yang mereka lihat bahkan dengan warga sipil dan Hanin takut pesawat itu akan membom mobilnya saat itu. Dia bersyukur bisa selamat hingga rumah sakit dan kembali ke rumah.
Namun keesokan harinya, kabar buruk terdengar, rumah sakit yang dikunjunginya hancur terkena bom. Tak hanya itu mereka mengebom masjid, rumah sakit, ambulans, bahkan jurnalis.
Itu adalah waktu yang sulit dan menyakitkan karena banyak pembantaian, termasuk anak-anak, wanita dan orang tua. Banyak rumah di dekat Hanin dibom. Harga barang-barang naik dan seluruh keluarga biasa berbagi sepiring makanan untuk berbuka puasa.
Dia bersyukur bahwa dia menemukan makanan untuk hari lain. "Saya merindukan Idul Fitri. Saya berharap perang akan berhenti sebentar dan Idul Fitri akan datang tetapi perang terus berlanjut, membakar dan membunuh banyak nyawa setiap saat, adik laki-laki dan perempuan saya ketakutan," jelas dia.
Hanin selalu menghibur adik-adiknya untuk lebih kuat dan semua akan baik-baik saja. Karena perang akan berakhir. Namun ketika Idul Fitri perang masih berlanjut. Saat itu ibunya sedang hamil dan ketika lahir suara yang pertama kali didengar adalah suara bom. Bersyukur dua hari setelah adiknya lahir perang pun berhenti.
Setelah 52 hari terasa siksaan, rasa sakit, dan kehilangan. Berita tentang berakhirnya perang adalah berita terindah yang pernah di dengar warga Gaza.
Sumber: patheos