Mungkin cara paling konkret untuk memberi contoh bagaimana Bahloul bertekad untuk mengkaji kembali teks-teks suci Islam adalah keputusannya untuk menjadi seorang imam. Sesuatu yang menurutnya tidak dilarang. "Karena tidak dipraktikkan, orang-orang mengira itu dilarang," jelasnya.
Bahloul mengatakan bahwa pembacaan dan interpretasi patriarkal terhadap teks suci mengarah pada gagasan bahwa perempuan tidak bisa menjadi imam, “Tapi teks Alquran tidak melarang perempuan menjadi imam," katanya.
"Ketika kita kembali ke tradisi kenabian, kita menemukan contoh seorang wanita yang telah ditunjuk oleh Nabi sendiri yang jadi imam, "ujarnya.
Masjid Fatma
Bahloul diketahui tidak mengikuti kursus atau pusat pelatihan khusus, juga tidak mendapatkan sertifikat untuk menjadi Imam. “Dalam Islam, tidak ada otoritas ulama pusat yang menyebut nama imam, jadi terserah masyarakat mau menerima Anda atau tidat untuk memberi legitimasi,” jelas Bahloul.
Pada tahun 2018, ia mengumumkan pembuatan "Masjid Fatma", sebuah tempat ibadah di mana pria dan wanita berdoa bersama. Di mana sholat dipimpin oleh imam pria dan wanita, di mana khotbah disampaikan dalam bahasa Prancis, dan di non-Muslim diterima.
Namun, sejak pandemi Covid-19, sebagian besar aktivitas masjid ini telah dirubah secara online. "Masjid bukanlah tempat, tapi komunitas," katana, menekankan bahwa mereka harus terus berkumpul.