REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Al Washliyah telah melaksanakan Muktamar XXII secara daring dan luring di Jakarta pada 18 - 21 Maret 2021. Al Washliyah telah mencermati dan menganalisis berbagai situasi, kondisi serta perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang terjadi akhir-akhir ini baik nasional maupun internasional.
Ketua Umum Pengurus Besar Al Washliyah, KH Masyhuril Khamis menyampaikan, Al Washliyah berkewajiban memberikan perhatian dan sikap sebagai tanggung jawab keumatan serta organisasi kemasyarakatan Islam terhadap berbagai persoalan tersebut. Atas pencermatan dan analis yang dilakukan, maka Muktamar XXII Al Washliyah menyampaikan rekomendasi untuk internal dan eksternal.
Kiai Masyhuril menyampaikan rekomendasi eksternal, di antaranya Al Washliyah mengingatkan dampak perbedaan pilihan dalam pemilihan pemimpin nasional dan pemerintahan daerah telah menciptakan kondisi terpecah dan terbelahnya anak bangsa ke dalam kelompok-kelompok yang terus saling berselisih, tidak bersahabat, bertentangan, seperti tidak satu bangsa. Penggunaan media sosial menjadi tempat pengungkapan ujaran-ujaran, kalimat-kalimat dan provokasi-provokasi yang saling bersahutan mengumbar kebencian serta penghinaan.
"Ada yang merasa paling menjunjung nilai-nilai Pancasila, paling Pancasilais, paling cinta NKRI. Ada yang berperilaku memojokkan kelompok yang dituding tidak Pancasilais," kata Kiai Masyhuril kepada Republika, Senin (22/3).
Ia mengatakan, terhadap kondisi itu, belum terlihat adanya upaya yang serius dan elegan dari tingkat kepemimpinan nasional sampai daerah untuk mempersatukan dan memperkecil jurang perpecahan tersebut. Maka Al Washliyah mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk serius melakukan upaya yang elegan dan bermartabat mempersatukan keterbelahan anak-anak bangsa ini, agar kehidupan berbangsa dan bernegara damai, nyaman dan tentram.
Kiai Masyhuril mengatakan, Al Washliyah juga memandang perkembangan pendidikan nasional telah menjurus atau berorientasi kepada terwujudnya hasil pendidikan yang memiliki kecerdasan intelektual, orientasi ekonomi, dan pragmatism. Hal ini terlihat dari visi pendidikan tahun 2035 yang menyatakan 'membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila'.
"Ini bertentangan dengan pasal 29 UUD 1945, sehingga cepat atau lambat ini akan menggeser kecerdasan emosional, kecerdasan religius yang menanamkan ketakwaan," ujarnya.
Ia mengatakan, untuk mewujudkan pasal 29 UUD 1945 dapat dilakukan melalui proses internalisasi dan memberikan pendidikan keimanan dan ketakwaan secara terus menerus. Salah satu caranya adalah perlu alokasi waktu pendidikan agama yang cukup, baik yang intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.