Aktivis Shreen Saroor, salah satu pendiri Jaringan Aksi Wanita, yang sempat mengajukan petisi kepada MA Sri Lanka untuk amandemen kremasi mengatakan, ini buah perlawanan keluarga Muslim yang anggota keluarganya sempat dikremasi secara paksa. “Ada dua titik kritis dalam advokasi kami untuk mendapatkan hak penguburan bagi korban Covid-19. Pertama, kremasi bayi Syekh berusia 20 hari dari permohonan ayahnya Faheem kepada dunia, dan upayanya yang tak kenal lelah memberikan wawancara kepada media tentang tragedi tersebut, ”katanya.
Perhatian internasional
Dalam beberapa waktu terakhir, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sempat mengangkat kebijakan kremasi paksa itu di PBB awal pekan lalu. Secara tradisional, umat Islam menguburkan jenazah menghadap Mekah. Hal itu menjadi perhatian para pemimpin komunitas Muslim, utamanya, setelah lebih dari setengah korban Covid-19 di negara itu berasal dari minoritas Muslim.
Upaya Sri Lanka ini juga dikecam para ahli HAM PBB dan OKI. Sebelumnya, Pada Maret tahun lalu, Kementerian Kesehatan Sri Lanka menyebut penguburan para korban infeksi Covid-19 bisa memicu penyebaran virus di dalam tanah. Sehingga, semua jenazah korban wabah itu akan dikremasi tanpa memandang agama dan etnis mereka.
Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan kremasi adalah "masalah pilihan budaya" dari setiap masyarakat. "Ini adalah mitos umum bahwa orang yang meninggal karena penyakit menular harus dikremasi, tetapi ini tidak benar," ungkap WHO.
Perdana Menteri Sri Lanka Mahinda Rajapaksa, dua pekan lalu memang telah mengumumkan untuk menghentikan kremasi paksa terhadap korban meninggal karena Covid-19. Namun demikian, pemerintah Sri Lanka nyatanya terus dilaporkan melakukan kremasi secara paksa pada umat Muslim.
Mengutip laporan Human Rights Watch Rabu (17/2), pemerintah Sri Lanka diketahui langsung mengakhiri janjinya sehari setelah pengumuman PM Mahindra pada Kamis (11/2) lalu. Pengingkaran itu, terbukti dengan perlakuan kremasi terhadap aktivis sosial Mohamed Kamaldeen Mohamed Sameem di Anamaduwa.