REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO — Pemerintah Sri Lanka dilaporkan tetap melakukan kremasi secara paksa terhadap umat muslim yang terkonfirmasi positif Covid-19. Padahal, Perdana Menteri Sri Lanka Mahinda Rajapaksa pekan lalu baru saja mengumumkan, akan menghentikan kremasi paksa tersebut.
Mengutip laporan Human Rights Watch Rabu (17/2), pemerintah Sri Lanka diketahui langsung mengingkari janjinya sehari setelah pengumuman PM Mahindra pada Kamis (11/2) lalu. Pengingkaran itu, terbukti dengan perlakuan kremasi terhadap aktivis sosial Mohamed Kamaldeen Mohamed Sameem di Anamaduwa.
Menurut pernyataan teman sesama aktivisnya, pemerintah sempat berdalih jika Sameem awalnya bunuh diri. Namun demikian, pemerintah merevisi penyebab kematiannya menjadi Covid-19 dan langsung mengkremasinya secara tergesa-gesa.
Pada kasus lainnya, keluarga fisioterapis berusia 26 tahun yang dilaporkan meninggal mendadak dalam tidurnya juga telah meminta Pengadilan Banding. Hal itu, dilakukan untuk mencegah kremasi setelah otoritas rumah sakit mengumumkan dia meninggal karena Covid-19.
Sejauh ini, kebijakan kremasi pada korban Covid-19 Sri Lanka telah menyebabkan tekanan berat bagi umat Islam setempat sejak diterapkan pada Maret 2020. Pemerintah berdalih jika penguburan sesuai dengan tradisi Islam bisa menimbulkan risiko kesehatan masyarakat. Upaya pemerintah Sri Lanka Ini juga telah dikecam oleh para ahli hak asasi PBB, dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
Sebelumnya, Pada Maret tahun lalu, Kementerian Kesehatan Sri Lanka menyebut penguburan para korban infeksi Covid-19 bisa memicu penyebaran virus di dalam tanah. Pemerintah pun memutuskan semua jenazah korban wabah akan dikremasi tanpa memandang agama dan etnis mereka.
Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan bahwa kremasi adalah "masalah pilihan budaya" dari setiap masyarakat. "Ini adalah mitos umum bahwa orang yang meninggal karena penyakit menular harus dikremasi, tetapi ini tidak benar," ungkap WHO.