Kamis 04 Feb 2021 23:42 WIB

'Perang' Ekstremisme Islam Prancis, Rugikan Muslimah Hijabi?

Perang terhadap ekstremisme Islam di Prancis dinilai rugikan Muslimah berhijab

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Perang terhadap ekstremisme Islam di Prancis dinilai rugikan Muslimah berhijab. Ilustrasi jilbab
Foto: wordpress.com
Perang terhadap ekstremisme Islam di Prancis dinilai rugikan Muslimah berhijab. Ilustrasi jilbab

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS—Piagam ‘Lightened Islam’ yang diusulkan Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang dianggap sebagai senjata melawan separatisme Islamis, hingga kini masih dibanjiri kecaman dari kritik karena menargetkan hampir 6 juta Muslim di negara itu, komunitas Muslim terbesar di Uni Eropa.

Tiga wanita Muslim Prancis ala Afrika Utara, Tesmin, Nadia dan Ines mengaku bahwa kebijakan usulan Macron sangat mempengaruhi kehidupan pribadi dan profesional mereka. Tesnim, sehari-hari bekerja di sebuah kementerian Prancis, mengatakan setiap berangkat bekerja diharus menanggalkan jilbab yang biasanya dia kenakan kemanapun.

Baca Juga

“Saya merasa tidak enak setiap kali saya melepas jilbab saya di tempat kerja, sekarang saya sudah terbiasa. Saya akan melepas hijab saya di tempat kerja, tetapi memakainya kembali setelah keluar dari gedung, di transportasi umum dan di rumah,” ujar Tesnim yang dikutip di TRT World, Kamis (4/2).

“Tekanan untuk mempertahankan sesuatu yang saling bertentangan ini menjadi terlalu besar, karena rekan-rekan Muslim saya mulai mengetahui bahwa saya adalah seorang hijabi di luar pekerjaan. Seolah-olah saya bisa merasakan mereka menilai saya karena menjalani kehidupan ganda,” sambungnya.

Sedangkan Nadia, wanita muda Muslim keturunan Afrika Utara-Prancis memilih untuk melanggar aturan ‘konyol’ Macron dan mempertahankan hijabnya. Akibatnya, dia ditolak secara terang-terangan di tempatnya bekerja, bahkan dipecat dan kesulitan mencari pekerjaan baru. Dia menceritakan pengalamannya saat wawancara pekerjaan, melalui telepon.

Nadia telah mengesankan pewawancara dengan identitas akademis dan karirnya. Namun ketika dia secara terus terang bertanya kepada pewawancara apakah mengenakan jilbab akan menjadi masalah, pewawancara menjawab itu akan bermasalah, mereka mengatakan ingin mempekerjakan Nadia tetapi karena LSM itu didanai pemerintah, dan mempekerjakan hijabi tidak memungkinkan karena akan bertentangan dengan pemerintah.

“Saya masih berjuang untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi saya. Sulit untuk menemukan pekerjaan yang baik di bidang saya di mana mereka akan menerima saya apa adanya, apalagi keterampilan yang saya tawarkan,” ujarnya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement