Selasa 26 Jan 2021 08:49 WIB

Lafran Pane: HMI, Masyumi, Hingga Teladan Nabi Muhammad

Keteladanan pahlawan nasional pendiri HMI Prof Lafran Pane.

Prof. Lafran Pane (x) di antara sejawat dan juniornya.
Foto:

Lafran dan Masyumi

Pada 7 November 1984, Dewan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (DM-UII) menyelenggarakan diskusi panel dengan narasumber Dr. Nurcholish Madjid dan Fachry Ali M.A.. Saya didaulat menjadi moderator.

Beberapa hari menjelang diskusi, saat hendak naik angkot, saya berpapasan dengan Lafran Pane. Dia langsung menyergap dengan pertanyaan, "Kalian mau merayakan ulang tahun Masyumi?"

Saya bingung dan tidak bisa langsung merespons.

"Kalian kan mau bikin acara tanggal 7 November. Itu hari ulang tahun Masyumi."

Saya manggut-manggut seraya menjawab, "Kebetulan saja, Pak."

Sampai sekarang, saya tidak pernah bertanya kepada DM-UII mengenai nawaitu membuat acara itu ada kaitan dengan ulang tahun Masyumi atau tidak. Yang saya tahu, acara itu dimaksudkan untuk mangayo bagyo Nurcholish Madjid yang baru kembali ke Tanah Air setelah menyelesaikan studi Ph.D di Chicago University, Amerika Serikat.

Sejak Lafran Pane bertanya kepada saya, di kalangan aktivis HMI Yogya terbentuk kelompok "Pitunov" (Pitu, tujuh, November) yang tiap tahun menyelenggarakan diskusi mengenai Masyumi.

Apakah Lafran Pane anti atau pro-Masyumi? Berpuluh tahun pertanyaan itu menggantung, sampai kemudian saya menemukan surat pengunduran Drs. Lafran Pane dari Masyumi. Surat pengunduran diri pada 1959 itu, selain ditandatangani oleh Lafran Pane juga ditandatangani oleh Ketua Masyumi Yogyakarta, H.M. Darban.

Surat pengunduran diri itu menjadi bukti bahwa Lafran Pane pernah menjadi anggota Masyumi.

Mengapa mengundurkan diri? Dugaan saya, itu berkaitan dengan peraturan yang melarang pegawai tinggi pada suatu kementerian aktif di partai politik.

Dengan dugaan ini, pengunduran diri Lafran Pane dari Masyumi tidaklah unik. Di tingkat nasional, Sindian Djajadiningrat (pegawai tinggi pada Kementerian Keuangan) dan Osman Raliby (pegawai tinggi pada Kementerian Agama) mengundurkan diri dari (pengurus) Masyumi.

Jika Lafran tidak mundur dari Masyumi, bisa jadi, dia tidak akan dikukuhkan menjadi profesor. 

Humoris

Untuk ukuran tubuh orang Indonesia, Lafran Pane terhitung tidak tinggi. Dengan perawakan seperti itu, ditambah kebiasaannya memakai safari dan kacamata relatif tebal, tidak keliru jika orang menganggap Lafran Pane seorang yang serius.

Anggapan itu terpatahkan oleh suatu peristiwa.

Saat sedang berjalan, persis di depan rumahnya, Lafran Pane yang sedang berdiri di teras rumah, melihat dan memanggil nama saya. Dia meminta saya mampir.

Sesudah duduk beberapa jenak, Lafran bertanya mengenai buku biografi Nabi Muhammad. 

Saya yang baru selesai membaca buku Haikal, Hayatu Muhammad yang diterjemahkan oleh Ali Audah dengan bangga mempromosikan buku tersebut.

Lafran Pane menyimak dengan serius sambil sesekali manggut-manggut. Melihat omongan saya disimak dengan serius, saya makin bersemangat, hingga Lafran Pane menginterupsi. "Saya juga sedang membaca biografi Nabi Muhammad. Coba kau lihat."

Lafran berdiri, lalu masuk ke dalam rumah untuk mengambil buku yang sedang dibacanya. Ketika Lafran muncul dengan buku yang sedang dibacanya, giliran saya yang terkejut. Buku yang sedang dibaca oleh Lafran Pane itu ternyata berbahasa Prancis ditulis oleh Dr. Hamidullah.

"Bapak bisa bahasa Prancis?" tanya saya menutupi rasa terkejut.

"Ya," kata Lafran sambil tersenyum. "Saya ini orang Prancis. Nama saya La Fran Pane."

Pak Lafran ternyata bisa bercanda juga. 

 

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement