REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dalam beberapa hari terakhir tampaknya tak habis-habis dilanda bencana. Gempa bumi, banjir, tanah longsor, hingga jatuhnya pesawat membuat duka di hati Muslim semakin mendalam.
Tak jarang, bencana yang melanda Ibu Pertiwi ini dikait-kaitkan dengan penyebabnya. Beberapa pihak menyebut bencana merupakan bentuk teguran dari Allah SWT, serta akibat dari perilaku tidak ramah lingkungan hingga maksiat yang masih terus dilakukan.
Dalam buku Fikih Kebencanaan Perspektif NU, yang dikeluarkan oleh Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jatim dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Iklim (LPBI) PWNU Jatim pada 2019, mengemukakan dua hal yang seharusnya menjadi sikap umat Islam dalam menghadapi bencana.
Buku ini mengemukakan sejumlah dalil yang dikutip dari Kitab Kasyifatus Saja karya Syekh M Nawawi Banten (1200 H ±) dan Syarah Shahih Muslim karya Imam An-Nawawi (600 H ±). Secara akidah, umat Islam harus meyakini bahwa bencana yang melanda masyarakat berasal dari Allah SWT.
Dalam penjelasan yang diunggah di situs resmi PBNU disebutkan, hal ini sebagaimana yang telah disebutkan Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 78.
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
yang memiliki arti, "Katakanlah, semuanya (berasal) dari sisi Allah".
Dalam buku tersebut, umat Islam juga disebut harus menyadari, segala sesuatu yang terjadi apapun itu termasuk bencana pada hakikatnya berasal dari Allah.
Apa yang disebut dalam QS An-Nisa ini juga menjadi bagian dari keimanan, sebagai hadits Rasulullah SAW riwayat Imam Ahmad berikut ini:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ المَرْءُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Artinya, Rasulullah SAW bersabda, 'Seseorang tidak beriman sampai ia mengimani takdir yang baik dan yang buruk'.
Meski secara hakiki segala sesuatu berasal dari Allah SWT, umat Islam disebut tetap perlu menjaga etika atau akhlak, serta cara pandang terhadap takdir. Umat Islam perlu mengembalikan bencana sebagai sesuatu yang buruk pada manusia itu sendiri.
Penjelasan tersebut dituangkan pula oleh Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 79, مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Artinya, "Kebaikan yang menimpamu (berasal) dari Allah dan keburukan yang menimpamu (terjadi) karena dirimu sendiri".
Lebih lanjut, Rasulullah SAW juga mengajarkan akhlak kepada sahabat. Beliau kerap menyebutkan jika segala yang baik berasal dari Allah. Sedangkan semua yang buruk bukan berasal dari-Nya.
Hal tersebut sebagaimana hadits riwayat Muslim, وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ
Hadis ini berarti, "Seluruh kebaikan ada dalam kuasa-Mu dan keburukan tidak dinisbahkan kepada-Mu.” (HR Muslim).
Sehingga, meski semua kejadian berasal dari Allah SWT, manusia dituntut untuk menyatakan akhlak perihal bencana sebagai sesuatu yang berasal dari kekhilafan, kesalahan, kekeliruan, kezaliman manusia itu sendiri.
Kepercayaan terhadap takdir ini tidak menafikan kewajiban ikhtiar manusiawi. Kepercayaan kepada takdir merupakan bentuk keimanan kepada Allah.
Sedangkan secara lahiriah, manusia perlu mengevaluasi dan mengintrospeksi diri apakah perilaku individu, kultur masyarakat, kebijakan pemerintah, dan alokasi anggaran yang diambil selama ini sudah ramah lingkungan.
Sumber Tulisan:
https://islam.nu.or.id/post/read/115325/sikap-muslim-terhadap-bencana