REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengkritisi pembubaran Front Pembela Islam (FPI) yang dianggap tidak berprinsip pada keadilan. Prosedur dan landasan keputusan dilarangnya organisasi kemasyarakatan tersebut dinilai tidak merefleksikan Indonesia sebagai negara hukum.
Ketua BEM UI, Fajar Adi Nugroho mengutip pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie. "Beliau memaparkan bahwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak hanya untuk kepentingan penguasa serta bertentangan dengan prinsip demokrasi," kata Fajar, dalam pernyataan sikapnya, Selasa (5/1).
SKB yang diterbitkan untuk melarang kegiatan FPI menjadi ironi karena memuat Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Fajar menyebut, dalam Pasal 3 Ayat (2) UU HAM diuraikan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum yang sama di depan hukum.
Poin tersebut, lanjut Fajar menjadi wujud dari pertentangan ketika dibersamai dengan UU Ormas yang dapat membubarkan organisasi kemasyarakatan melalui Menteri Hukum dan HAM tanpa putusan pengadilan. Menurutnya, dengan demikian negara dapat secara sewenang-wenang membubarkan organisasi kemsyarakatan tanpa proses pengadilan.
"Sebagaimana hal tersebut dapat dilihat dari prosedur pelarangan dan pembubaran FPI melalui SKB tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam," kata dia lagi.
BEM UI juga mengkritisi mengenai Maklumat Kapolri No 1/Mak/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI. Aturan ini dinilai Fajar lebih problematis, khususnya terkait dengan larangan mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten FPI di internet.
"Padahal, mengakses konten internet adalah bagian dari hak atas informasi yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28F UUD 1945 serta Pasal 14 UU HAM. Aturan Maklumat Kapolri a quo tentu saja akan dijadikan aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan represif dan pembungkaman, khususnya dalam ranah elektronik," kata dia.
Sebelumnya, di dalam SKB yang dikeluarkan tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol, dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI diuraikan bahwa FPI adalah organisasi yang tidak terdaftar. Hingga SKB diterbitkan 30 Desember, FPI belum memenuhi persyaratan untuk memperpanjang SKT (Surat Keterangan Terdaftar).
"Kendati demikian, prosedur dan landasan atas keputusan dilarangnya organisasi kemasyarakatan tersebut tidak merefleksikan Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945," ujar Fajar.
Tidak selarasnya muatan SKB tersebut dapat ditinjau dengan penggunaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. UU tersebut berisi tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang menghapuskan mekanisme peradilan dalam proses pembubaran organisasi kemasyarakatan.