Mohammad Fakaruddin Ahmad, seorang pengajar di Sekolah Menengah Noorpur Jut, sebuah madrasah di distrik Sonitpur, mengatakan tidak setuju dengan keputusan menteri.
"Madrasah kami, seperti sekolah lain, mengajarkan sains dan matematika serta mata pelajaran lain dan juga menghasilkan dokter dan insinyur. Madrasah mengikuti kurikulum pendidikan dari pemerintah negara bagian dan kami mengajarkan pendidikan sekuler kepada siswa kami, selain memiliki kursus bahasa Arab dan studi Islam," jelasnya.
Hiren Gohain, seorang intelektual publik terkemuka dari Assam, merasa pemerintah lebih mengkhawatirkan nama 'madrasah' daripada pendidikan.
Dia juga mengatakan bahwa itu adalah 'bagian dari pola' untuk melemahkan minoritas Muslim di Assam dan memaksa mereka untuk jatuh ke dalam 'konstruksi politik' partai yang berkuasa.
"Motif politik adalah yang terpenting dalam pikiran mereka. Kekhawatirannya adalah bahwa lain kali mereka akan mulai mengubah nama tempat yang memiliki nama Islam," ujarnya.
Anowar Hussain, seorang pengacara di ibu kota negara bagian Guwahati, menggambarkan undang-undang tersebut tidak konstitusional. Konstitusi seharusnya memberikan hak kepada komunitas minoritas untuk mengelola lembaga pendidikan mereka. Namun undang-undang itu justru inkonstitusional.
"Fokus pemerintah bukanlah pendidikan minoritas tetapi pemilihan, dan bagaimana memenangkan pikiran orang Assam lokal dengan mempolarisasi situasi sebelum pemilihan," ujarnya menambahkan.