Senin 14 Dec 2020 06:28 WIB

Jarak Jauh dan Jaga Jarak

Pesantren Muhammadiyah terus berupaya menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Petugas kesehatan melakukan pengambilan sampel tes usap/ SWAB di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, Yogyakarta, Rabu (29/7). Dinas Kesehatan Sleman mengambil sampel tes SWAB untuk 100 tenaga pengajar di Ponpes Sunan Pandanaran. Dan ini diutamakan untuk tenaga pengajar yang berasal dari luar Jogja.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Petugas kesehatan melakukan pengambilan sampel tes usap/ SWAB di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, Yogyakarta, Rabu (29/7). Dinas Kesehatan Sleman mengambil sampel tes SWAB untuk 100 tenaga pengajar di Ponpes Sunan Pandanaran. Dan ini diutamakan untuk tenaga pengajar yang berasal dari luar Jogja.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Imas Damayanti, Umar Mukhtar

Wakil Ketua Bidang Penguatan Tanggap Darurat dan Pemulihan Jaringan Persyarikatan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), Arif Jamali Muis mengatakan, pesantren Muhammadiyah merupakan salah satu sektor pendidikan pesantren yang paling minim mengalami kasus Covid-19. Hal itu dilandasi dengan ketatnya penerapan protokol kesehatan, juga mobilitas pesantren yang dibatasi.

"Pesantren Muhammadiyah, alhamdulillah minim kasus Covid-19," kata Arif saat dihubungi Republika, Sabtu (12/12). Di tengah maraknya penyebaran kasus Covid-19 di klaster pesantren, Arif menilai bahwa pesantren Muhammadiyah terus berupaya menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Tak hanya itu, Arif mengatakan, salah satu kunci penekanan penyebaran di klaster pesantren Muhammadiyah adalah tidak diwajibkannya pembelajaran tatap muka. Dia menyebut bahwa sedari awal, pembelajaran tatap muka di pesantren dibuka, pihak pesantren Muhammadiyah selalu memfokuskan pembelajaran jarak jauh secara daring.

"Jika kami ingin melakukan pembelajaran tatap muka, itu pun selalu kami diskusikan terlebih dahulu dengan wali murid. Jika wali murid tidak berkenan, kami fokuskan pada pembelajaran jarak jauh," ujarnya.

Dia menjelaskan, persoalan penerapan protokol kesehatan telah lumrah ditaati setiap pesantren. Namun, adanya mobilitas di kalangan pesantren, seperti tenaga staf ataupun guru-guru luar ke dalam pesantren menjadi permasalahan, yang menyebabkan aktivitas penyebaran terjadi. Untuk itu, dia menyebut, pemerintah harus ambil fokus dalam menangani klaster ini.

Wakil Ketua Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Islam (Persis), KH Jeje Zaenudin menuturkan, beberapa pondok pesantren di bawah naungan Persis melaksanakan pembelajaran dengan kapasitas hanya 50 persen dari biasanya.

Cara yang dilakukan, di antaranya mengurangi jumlah santri yang belajar di pesantren sehingga sisanya belajar di rumah. Cara lainnya, dengan menambah ruangan di titik lain untuk dijadikan asrama santri agar tercipta suasana, yang membuat mereka menerapkan jaga jarak fisik.

"Ruangannya ditambah, misalnya yang tadinya hanya ada satu lokal asrama, kemudian dibuat lokal yang lain, misalnya di balkon masjid, atau yang tadinya ruangan kesiswaan itu difung sikan juga sebagai gurfah (kamar). Agar mereka bisa menjaga jarak saat berin teraksi di dalam ruangan,"katanya kepada Republika, Sabtu (12/12).

Jeje juga menyampaikan, sebagian besar pondok pesantren tentu menginginkan pembelajaran tatap muka bisa normal kembali, menyusul program vaksinasi pemerintah. Sebab, pembelajaran seperti pesantren menuntut adanya komunikasi langsung antara ustaz dan santri.

"Jadi, diharapkan bila vaksinasi sudah merata dan sudah selesai semua prosedur hukumnya (kehalalan) itu secara bertahap, pembelajaran juga dibuka secara offline atau tatap muka, dengan tetap menjalankan protokol kesehatan," ujarnya. ed:fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement