REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Organisasi Hak Asasi Manusia Human Rights Watch (HRW) menyatakan, sebuah program data besar (big data) di Xinjiang, China secara sewenang-wenang memilih Muslim untuk ditahan. Ini kemudian menandai perilaku seperti mengenakan cadar, belajar Alquran atau pergi haji sebagai alasan penangkapan.
Dalam sebuah laporan baru pada Rabu (9/12), HRW menyatakan telah menganalisis daftar bocor lebih dari 2.000 tahanan di prefektur Aksu Xinjiang. Kemudian menemukan program yang dikenal sebagai Integrated Joint Operations Platform (IJOP) juga menandai orang-orang karena hubungan mereka, komunikasi, riwayat perjalanan, atau terkait dengan seseorang yang dianggap mencurigakan oleh pihak berwenang.
"Daftar Aksu memberikan wawasan lebih lanjut tentang bagaimana penindasan brutal China terhadap Muslim Xinjiang sedang didorong oleh teknologi," kata peneliti senior China di HRW, Maya Wang, dilansir di Aljazirah, Kamis (10/12).
"Pemerintah China berutang jawaban kepada keluarga dari mereka yang ada dalam daftar: Mengapa mereka ditahan, dan di mana mereka sekarang?" katanya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan lebih dari satu juta Muslim, kebanyakan dari etnis Uighur ditahan di kamp-kamp di Xinjiang. Aktivis menyatakan, tujuan penahanan adalah menghapus identitas etnis dan agama Muslim Turki, serta memastikan kesetiaan mereka kepada pemerintah China.
China membantah tuduhan tersebut. Mereka menggambarkan kamp tersebut sebagai pusat pelatihan kejuruan untuk membantu membasmi ekstremisme agama di provinsi yang bermasalah itu.
HRW menyatakan, Daftar Aksu yang berasal dari akhir 2018 menunjukkan bukti lebih lanjut tentang peran big data dan teknologi dalam membantu pejabat memilih target untuk transformasi pemikiran yang dipaksakan. Awal tahun ini, para pegiat mendokumentasikan bagaimana para pejabat di Karakax Xinjiang menggunakan IJOP untuk menilai apakah seseorang harus tetap ditahan. Seorang pejabat Karakax menolak laporan itu, dan menyebutnya sebagai palsu.
HRW mengatakan telah memperoleh daftar Aksu berjudul List of IJOP Trainees dari sumber anonim di Xinjiang dan memverifikasi keaslian daftar dengan memeriksanya terhadap catatan resmi, catatan media sosial, dan berkonsultasi dengan komunitas diaspora Uighur serta dua ahli yang telah secara ekstensif mendokumentasikan tindakan keras Beijing di Xinjiang.
HRW memberi contoh, seorang perempuan berinisial T ditahan karena IJOP telah menandainya karena berhubungan ke negara-negara sensitif. Daftar tersebut menyatakan, T telah menerima empat panggilan dari nomor asing pada Maret 2017, yang menurut HRW adalah milik saudara perempuan T ketika mereka menelepon.
HRW menyatakan, saudara perempuan T mengatakan, polisi Xinjiang menginterogasi T sekitar waktu Daftar Aksu mencatat tanggal penahanannya. Polisi secara khusus menanyakan tentang saudaranya karena dia tinggal di luar negeri.
Saudara perempuan T mengatakan, dia tidak memiliki kontak langsung dengan keluarganya di Xinjiang semejak saat itu. Akan tetapi dia mendengar T sekarang bekerja di pabrik, lima hari sepekan, dan hanya diizinkan pulang pada akhir pekan.
"Kakak perempuan T percaya T dipaksa bekerja di pabrik yang bertentangan dengan keinginannya, karena T telah berlatih untuk karier yang berbeda sebelum dia ditahan," kata HRW.