Oleh : Katib 'Aam Syuriyah PBNU, KH Yahya Chalil Staquf
REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dikecam keras karena menyatakan,”Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia.”
Mantan perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, membalas dengan mengunggah cuitan di Twitter, "Umat Islam memiliki hak membunuh jutaan orang Prancis". Sementara seruan boikot atas produk Prancis menyebar ke seluruh dunia.
Namun, jika direnungkan dengan jujur, pernyataan Presiden Macron tersebut sebenarnya tak mengandung pelecehan atau penghinaan. Pada kenyataannya, dunia Islam sedang dilanda krisis tanpa tanda-tanda jalan keluar yang jelas.
Wujud nyata krisis ini adalah konflik di sebagian besar wilayah yang dihuni Muslim, dari Afrika dan Timur Tengah hingga perbatasan India.
Gonjang-ganjing sosial merajalela di seluruh dunia Islam; penyebaran ekstremisme dan teror agama tidak terkendali; dan gelombang Islamofobia di antara masyarakat non-Muslim sebagai tanggapan langsung terhadap perkembangan ini.
Krisis ini terkait fakta, dunia Islam belum menghasilkan kerangka teologis dan sosiopolitik yang mampu memfasilitasi integrasi harmonis umat Islam, sebagai keseluruhan dengan realitas kehidupan modern.
Di Eropa, khususnya, ini menimbulkan "kecanggungan sosial". Sebab, tak ada kerangka sah dan otoritatif secara teologis yang didasarkan syariat, yang memungkinkan umat Islam tinggal bersama orang dari kepercayaan berbeda sebagai warga negara yang setara.
Kaum Muslimin Eropa sering terpikat kelompok Islam yang menolak negara bangsa dan hukum, yang dihasilkan proses politik modern. Ini berkontribusi pada berkembangnya konflik antara kelompok identitas etnis, agama, dan ideologis di seluruh Eropa dan dunia.
Beragam pandangan dunia yang tampaknya tidak dapat berdamai satu sama lain dan para pendukungnya, terlibat pertarungan multifaset yang sengit untuk memperebutkan supremasi budaya, ekonomi, dan geopolitik.
Selama beberapa dekade yang singkat, tam paknya dunia Barat belajar dari sejarah nya yang berlumuran darah dan menemukan formula politik untuk meredakan tribalisme berbasis identitas dan menghentikan siklus primordial kebencian, tirani, dan kekerasan.
Namun, dewasa ini muncul kekhawatiran, sejumlah pencapaian terbesar Eropa setelah perang dunia kini menghadapi risiko dirusak berbagai kekuatan, baik internal mau pun eksternal. Yakni, kekuatan ekstrem yang cenderung memutlakkan perangkat nilai tertentu sambil mencemooh nilai yang dianut pihak lain.
Salah satu contohnya, setelah pembantaian di Nice Oktober 2020, pemerintah kota di Toulouse dan Montpellier memproyeksikan kartun Charlie Hebdo, yang merupakan pelecehan terhadap Islam, Kristen, dan Yahudi sekaligus, ke dinding gedung-gedung pencakar langit milik pemerintah kota.
Kemungkinan, alih-alih didasari keinginan untuk menyinggung kepekaan agama, tindakan itu didorong tekad mempertahankan nilai-nilai sekuler dan Republik Prancis, termasuk komitmen untuk kebebasan berbicara, saat menghadapi serangan teroris.
Namun, insiden ini menggambarkan jurang budaya dan politik yang menganga di masyarakat Barat saat ini. Di satu sisi, ada pendukung ideologi sekuler yang kekuatan budaya, ekonomi, dan politiknya mendekati hegemoni di sebagian besar dunia Barat. Di seberang jurang adalah mereka yang menganut nilai-nilai yang lebih tradisional, termasuk banyak orang Kristen, Yahudi Ortodoks, dan Muslim.
Meskipun sekularisme Barat secara historis berhasil menyediakan kerangka tatanan berimbang dan berjalan efektif sehingga semua kelompok identitas dan pandangan dunia dapat bersaing mendapatkan pengaruh dan hidup berdampingan secara damai, peningkatan polarisasi Eropa dan AS menunjukkan ada pihak yang tidak mau mengikuti aturan itu.
Mereka, penganut sekularisme postmodern yang berlebih-lebihan, militan, dan memusuhi nilai tradisional humanisme Barat. Diantarkan globalisasi, gejala ini dan pe ngaruh bawaannya menyebar ke seluruh dunia dan melahirkan kegelisahan di mana-mana.
Menghadapi gambaran suram itu, dunia harus menciptakan dialog di antara berbagai go longan, budaya, dan agama de ngan menge depankan prisip nilai pemersatu yang paling luhur, didasarkan pada aspirasi yang paling mu lia dari setiap peradaban.
Para panutan di bidang agama, pendidikan, budaya populer, pemerintahan, bisnis, dan media hendaknya mendorong semangat kerja sama dan me nolak konflik, baik di lingkungan internal peradaban tertentu maupun antarperadaban.
Dunia memikul tanggung jawab untuk membangun dan mewariskan kepada generasi mendatang, suatu peradaban global yang unsur-unsur warganya leluasa memelihara karakteristik khas masing-masing.
Peradaban semacam itu, hanya mungkin lahir dan berkembang apabila sungguh-sungguh menghormati kesetaraan hak dan martabat di antara sesama manusia serta menegakkan prinsip harmoni dan kebersamaan dalam keragaman.