REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Perang, konflik, dan penindasan yang terjadi di banyak negara, membuat puluhan juta orang saat ini akhirnya menjadi meninggalkan rumahnya menjadi pengungsi, pencari suaka, atau imigran.
UNHCR mencatat jumlah mereka pada 2014 lalu mencapai 59,5 juta orang di seluruh dunia. Dan, negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara, yang sempat dilanda Arab Spring, merupakan penyumbang signifikan bagi statistik ini.
Angka 59,5 juta itu termaktub dalam laporan tahunan UNHCR bertajuk Global Trends Report: World at War, yang dirilis pada 18 Juni lalu. UNHCR mencatat jumlah ini meningkat dibanding tahun 2013 lalu yang jumlahnya 51,2 juta, dan satu dekade sebelumnya yang jumlahnya 37,5 juta.
Negara-negara asal pengungsi, pencari suaka, dan imigran itu terutama adalah delapan negara Afrika yaitu Pantai Gading, Republik Afrika Tengah, Libya, Mali, Nigeria, Republik Demokratik Kongo, Sudan Selatan, dan Burundi; tiga negara Timur Tengah yaitu Suriah, Irak, dan Yaman; satu negara di Eropa yaitu Ukraina; dan tiga negara di Asia yaitu Kyrgyzstan, Myanmar, dan Pakistan.
Sementara ketidakstabilan juga masih terjadi di sejumlah negara seperti Afghanistan, Somalia, Suriah adalah yang paling dramatis. Sejak pecahnya perang di sana pada 2011, yang terus meningkat eskalasinya dari waktu ke waktu, membuat setiap hari rata-rata 42.500 orang menjadi pengungsi.
"Hanya sedikit dari krisis itu yang berhasil diselesaikan, dan pada 2014 lalu hanya 126.800 pengungsi yang bisa kembali ke rumahnya, angka yang paling rendah dalam 31 tahun terakhir," demikian laporan UNHCR. Dan, menurut UNHCR, separuh dari pengungsi itu adalah anak-anak.
Perjalanan mencapai Eropa itu bukanlah perjalanan yang mudah. Para pengungsi, imigran, dan pencari suaka, itu, harus menaiki perahu-perahu yang disewakan oleh para penyelundup manusia dengan biaya mahal.
Banyak di antara perahu-perahu tersebut yang tak layak ditumpangi, tapi justru penuh sesak oleh penumpang. Dan yang berdesak-desakan tersebut bukan hanya para laki-laki dewasa, tapi juga perempuan hamil, orang tua, anak-anak, dan bayi-bayi.
Hakim Bello, seorang imigran asal Libya, menceritakan betapa amat menderitanya perjalanan menuju Eropa empat tahun lalu kepada harian the Guardian.
"Saya adalah satu dari ratusan ribu orang yang sejak pecahnya pemberontakan di negara-negara Arab, akhirnya sampai ke Eropa melalui Laut Mediterania. Saat ini (Laut Mediterania) merupakan perbatasan paling mematikan di dunia. Kami semua memiliki alasan berbeda untuk melakukannya. Sebagian berpikir mereka akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di Eropa, sebagian hanya ingin pergi dari zona perang. Tapi, semua orang merasa bahwa mereka tidak punya pilihan lain."
Hari itu, Hakim Bello berada di sebuah kapal yang ditumpangi 250 orang. Sebagian di antara penumpang kapal itu tewas setelah ombak besar menghantam, dan membuat mereka jatuh ke laut. Ada pula yang tewas karena kekurangan oksigen, terutama yang tinggal di dek bawah yang gelap dan pengap. "Masalah terbesar yang kami hadapi adalah ombak," tuturnya.