Oleh: Beggy Rizkiyansyah, Penulis Sejarah dan Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Politik dan militer di Indonesia sejatinya sulit untuk dipisahkan. Menurut pengamat militer Salim Said, slogan kembali ke barak bukanlah slogan yang tepat untuk dilekatkan pada militer di Indonesia. Sebab, tentara di Indonesia lahir bukan dari pemerintah, melainkan dari rakyat. (Salim Said: 1992). Di situ letak keunikan sekaligus semacam ‘dilema’ dalam politik kontemporer Indonesia.
Dwifungsi ABRI dalam masa Orde Baru meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat sipil di Indonesia. Meski era reformasi dwifungsi tersebut telah dihapuskan, kenyataannya, lanskap politik di Indonesia tak bisa benar-benar lepas dari pengaruh militer. Purnawiraan TNI masih berperan besar sebagai aktor-aktor politik, baik sebagai pemimpin parpol, pejabat negara, bahkan calon presiden.
Menilik kembali lahirnya TNI di negeri kita akan memberikan perspektif menarik akan pengaruh militer dan politik yang sulit dilepaskan. Kelahiran tentara kita dari rakyat (yang mungkin berbeda dari tradisi militer di negara-negara barat) membuat kita harus mempertimbangkan kembali cara menilai dunia militer dengan kacamata tradisi barat.
Salah satu figur yang sentral dalam sejarah militer Indonesia tentu saja sosok Jenderal Sudirman. Nama Sudirman memberi kita beberapa sudut pandang menarik dalam melihat sejarah militer Indonesia. Pertama, ia adalah seorang sosok militer pemersatu yang sejatinya tak bisa dilepaskan dalam pergulatan politik di Indonesia. Rekam jejaknya membentuk karakter TNI saat ini. Kedua, Jenderal Sudirman adalah sosok dengan latar belakang relijius, yaitu seorang anggota Muhammadiyah.
Pria kelahiran 24 Januari 1916 ini lahir dari keluarga miskin. Ia dapat bersekolah karena Pamannya adalah seorang pegawai pemerintah kolonial. Itu pun hanya sampai level sekolah menengah. Kemudian ia bersekolah di Taman Siswa. Di sekolah ini ia mendapatkan pengaruh dalam rasa cintanya terhadap tanah air. (Salim Said: 1992)
Sejak sekolah dasar ia bergabung dengan Hizbul Wathan, sebuah organisasi kepanduan Muhammadiyah. Di sinilah ia juga mendapat gemblengan pengaruh relijius. Dan sebagai pemuda, ia tumbuh dalam lingkungan Muhammadiyah. Sudirman mengikuti kegiatan organisasi Muhammadiyah dan aktif dalam Pemuda Muhammadiyah. Ketika Jepang menyerbu Hindia Belanda, Sudirman remaja sudah dikenal sebagai Pemimpin Pemuda Muhammadiyah wilayah Banyumas. (Salim Said: 1992)
Keterangan foto: Prajurit TNI berbaris memasuki pusat kota Jogja melalui jalan Malioboro diakhir 1949 atau bersamaan dengan kepulangan Jendral Sudirman dari medan perang gerilya.
Takdir membawanya dalam dunia pendidikan. Sebagai seorang berlatar Muhammadiyah, mengabdi pada dunia pendidikan bukanlah hal asing. Pendidikan adalah salah satu ladang amal terbesar Muhammadiyah. Selepas sekolah ia mulai aktif sebagai guru di sekolah Muhammadiyah.
Jalan hidupnya berbalik ketika memasuki masa penjajahan Jepang. Politik Jepang untuk memobilisasi rakyat Indonesia untuk tegabung dalam militer membuat mereka membentuk Pembela Tanah Air (PETA). Jepang menyadari, kekalahan Belanda disebabkan karena tidak adanya pembelaan dari rakyat Indonesia ketika Jepang menyerbu Hindia Belanda. Mereka tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Rakyat dimobilisasi untuk mendapatkan pendidikan kemiliteran. (Salim Said: 1992) Sudirman adalah salah satu bagian dari keluarga Muhammadiyah yang bergabung dengan PETA.
Hadirnya PETA memang menjadi agenda politik penjajah Jepang, namun di lain sisi banyak dari umat Islam yang bergabung dengan PETA akhirnya turut mendapatkan pendidikan militer modern yang selama ini dijauhkan oleh Pemerintah kolonial Belanda. Dalam siasat para tokoh Islam saat itu, pintu bagi umat Islam untuk menguasai soal kemiliteran menjadi terbuka.
Keterangan foto: Peta gerilya Panglima Besar Jendral Sudirman.