REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Kebencian berlatar rasial bukan hal baru dalam sejarah Amerika Serikat. Namun kebangkitan mereka baru-baru ini telah mencapai titik yang mengejutkan, menurut beberapa ahli.
"Kita mulai melihat gerakan supremasi kulit putih saat ini di ambang yang mengkhawatirkan," kata Heidi Beirich, Direktur Intelijen di Southern Poverty Law Center (SPLC), sebuah organisasi advokasi hukum yang memantau kelompok ekstrem semacam itu, seperti ditulis ABC News.
Statistik lembaga nirlaba yang berbasis di Alabama ini mencatat ada sebanyak 917 kelompok rasialis di seluruh negeri tahun lalu.
SPLC memecah kelompok itu sesuai kategori yaitu ada 99 kelompok neo-Nazi, 130 kelompok terdepan dari Ku Klux Klan, 43 kelompok neo-Konfederasi, 78 kelompok rasial skinhead, dan 100 kelompok nasionalis kulit putih.
Berbagai kelompok lain termasuk di dalamnya anti-imigran, anti- Muslim, dan kelompok Kristen fundamentalis, juga berafiliasi dengan kelompok supremasi kulit putih atau kelompok nasionalis kulit putih.
Jumlah keseluruhan kelompok rasialis di Amerika Serikat melonjak sekitar 17 persen pada 2016 dari 784 pada 2014, menurut penelitian SPLC. Beirich mencatat bahwa telah terjadi "pertumbuhan besar" dalam beberapa tahun terakhir, dan menunjuk pada per luasan kelompok yang terkait dengan situs berita neo-Nazi Daily Stormer.
"Mereka awalnya hanya satu cabang pada 2015 menjadi sekitar 30 cabang di tahun 2016," katanya, mencatat bahwa banyak kelompok baru mengadakan pertemuan pribadi dan tidak hanya berkomunikasi secara daring
Associated Press melaporkan di luar kelompok ini sejumlah supremasi kulit putih yang antara lain dimotori tokoh seperti Richard Spencer dan David Duke, mantan anggota parlemen Louisiana yang pernah menjadi petinggi di Ku Klux Klan, mulai muncul kembali.
Utamanya, sejak kampanye kepresidenan Donald Trump tahun lalu. Keduanya berada di Charlottes ville akhir pekan ini, dan Duke berbicara tentang banyaknya demonstran yang merasa berani dengan terpilihnya Presiden Donald Trump.
"Demonstrasi ini merupakan titik balik bagi rakyat negeri ini," kata Duke di Charlottesville, sebelum insiden terjadi. "Kami bertekad untuk mengambil kembali negeri kami, seperti janji Donald Trump."
Sejak kepemimpinan Trump, angka kekerasan berlatar rasial melonjak hampir dua kali lipat di Amerika Serikat. Bahkan, kemenangan Trump dituding salah satunya adalah dengan memainkan isu ini. "Trump seolah mengedipkan mata dan mengangguk pada aksiaksi semacam ini," kata Jonathan Green blatt, Direktur Anti-Defamation League.
Ia melihat indikasi lain antara lain dari lambannya pemerintahan Trump menangani insiden Charlottesville. Trump diketahui mengeluarkan pernyataan beberapa hari setelah insiden dan sama sekali tak menyinggung maraknya gerakan supremasi kulit putih. Ia hanya mengutuk kefanatikan di kedua kubu.
Anastasia Crickley, ketua Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial di bawah lembaga Hak Azasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui adanya peningkatan distriminasi rasial di Amerika Serikat. Kasus terbaru di Charlottesville hanya salah satu contoh saja. "Ada masalah di sini yang perlu ditangani oleh Presiden Trump dan oleh seluruh rakyat Amerika Serikat," katanya. "Warisan perbudakan masih sangat jelas di seluruh Amerika Serikat."
Crickley mengomentari pernyataan Presiden Trump bahwa ada "orang-orang yang sangat baik" di kedua belah pihak di Charlottesville dan "ada kebencian, kefanatikan dan kekerasan di banyak sisi".
Ia menyatakannya dengan mengutip tweet senator Partai Republik, John McCain, "Tidak boleh ada kesetaraan moral antara pendukung kebencian rasial dengan warga Amerika yang berdiri untuk menentang kebencian dan kefanatikan."
Pernyataan yang sama juga dilontarkan Perdana Menteri Inggris, Theresa May. "Tidak ada kesetaraan antara mereka yang mengemukakan pandangan fasis dan mereka yang menentangnya," katanya dalam sebuah pernyataan.
*Naskah bagian artikel yang tayang di Harian Republika 2017