REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI – Pada Maret 2020, tepat sebelum penguncian resmi akibat virus corona (Covid-19) di India, sebuah pertemuan Jamaah Tabligh berlangsung di Masjid Nizamuddin Markaz di New Delhi. Acara tersebut dihadiri 8.000 sampai 9.000 pengikut dari India dan luar negeri.
Kurang dari sebulan kemudian hampir 4.300 peserta jamaah dinyatakan positif Covid-19. Media India mengambil informasi ini sebagai kesempatan untuk menjelekkan para jamaah, menganggap mereka penyebar virus, dan menuduh mereka mengambil bagian dalam 'jihad korona' yang menyiratkan bahwa umat Islam sengaja menyebarkan infeksi sebagai strategi jihad.
Peristiwa Masjid Nizamuddin menyebabkan pemerintah mendakwa jamaah dengan berbagai pelanggaran seperti gangguan publik di bawah KUHP India, banyak dari mereka ditahan di berbagai bagian negara. Pada saat yang sama, India menguji persentase populasi yang sangat rendah bahkan ketika pemerintah secara agresif melacak, menguji, dan mengkarantina jamaah Muslim di Masjid Nizamuddin.
Sejak Partai BJP berkuasa pada 2014, pemerintah India yang dipimpin Perdana Menteri Narendra Modi telah menekankan hak umat Hindu atas kelompok lain. Dia mengubah India bukan hanya menjadi negara bagian di mana mayoritas penduduknya beragama Hindu, melainkan negara tempat mereka mendominasi kelompok lain, negara mayoritas Hindu.
Hampir semua saluran berita nasional di India semakin mendukung dan tidak kritis pada kebijakan dan skema pemerintah. Berita media juga meningkatnya permusuhan terhadap populasi Muslim di negara tersebut. Dilansir dari laman Public Seminar, Selasa (17/11).
Selama pandemi global Covid-19 pada hitungan terakhir di India telah mencatat lebih dari 8,5 juta kasus dengan 100 ribu kematian. Menghasilkan lebih banyak kasus yang sama, menyebabkan eksaserbasi xenofobia dan kefanatikan yang dapat diprediksi di India.
Peneliti, Soundarya Iyer, dari French Institute of Pondicherry and Shoibal Chakravarty dari Divecha Center for Climate Change, IISc menganalisis reportase media tentang Jemaat dari 20 Maret hingga 27 April. Dia menemukan 11.074 berita yang diterbitkan dari 271 sumber media dengan istilah "Tablighi Jamaat."
Demikian pula, sebuah analisis oleh Indian Journalism Review menunjukkan bahwa Dainik Jagran, sebuah surat kabar harian nasional Hindi terus memantau konten Islamofobia yang mencakup 156 cerita, delapan editorial, dan lima kartun selama 14 hari dari 28 Maret hingga 11 April 2020.
Ketika peneliti Joyojeet Pal dan rekannya di Universitas Michigan mempelajari informasi yang salah tentang pandemi virus corona di media India, mereka menemukan bahwa berita antara 14 Maret dan 12 April telah bergeser dari diskusi tentang kemungkinan penutupan dan penularan virus ke Muslim dan agama secara signifikan.
Mereka juga menemukan contoh dalam data di mana sayap resmi pemerintah, seperti Biro Informasi Pers dengan sengaja menyebarkan informasi yang salah.
Seperti mengunggah beberapa tweet yang menyatakan bahwa laporan berita tentang kematian pekerja migran yang bepergian ke rumah dengan kereta selama penguncian akibat Covid-19. Asian News International (ANI), platform berita sindikasi juga dituding menyebarkan berita bohong terkait tindakan karantina terkait peristiwa Masjid Nizamuddin.