REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Soeharto dalam lawatan-lawatannya ke luar negeri, sering membanggakan Masjid Istiqlal yang letaknya berdampingan dengan Gereja Katedral. Yang dikatakan sebagai wujud toleransi agama di Indonesia. Istiqlal (Merdeka) sekalipun pembangunannya baru dimulai 24 Agustus 1961, tapi ide membangun mesjid megah dan terbesar di Asia Tenggara ini telah dirintis sejak 1950. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta sejak awal terlibat dalam membangun Istiqlal.
Hasrat membangun Masjid Istiqlal merupakan cita-cita umat Islam, sebagai tanda syukur pada Allah SWT atas anugerah kemerdekaan. Kala itu tempat peribadatan umat Islam hanya terdapat di kampung-kampung. Berlainan dengan gereja yang berada di pusat-pusat kota dan di tepi-tepi jalan raya.
Bagi Bung Karno, Masjid Istiqlal dengan menara setinggi 6.666 cm atau hampir 70 meter merupakan landmark Ibu Kota RI. Ketika bandara di Kemayoran dan kemudian di Halim Perdanakusuma saat pesawat hendak mendarat para penumpang akan melihat dua monumen raksasa: Monas dan Istiqlal.
Istiqlal dibangun di bekas sebuah taman bernama Wilhelmina Park yang dibangun untuk mengabadikan pengangkatan Ratu Wilhelmina, nenek Beatrix, ratu Belanda sekarang. Di sini juga terdapat sebuah benteng (citadel) yang ketika dihancurkan dengan dinamit oleh Korps Zeni AD memakan waktu satu setengah tahun.
Karena kokohnya benteng itu. Selama Ramadhan, ribuan jamaah dapat menikmati buka puasa bersama di Istiqlal, yang pangannya sumbangan dari para dermawan. Tiap Jumat tidak kurang 25 ribu jamaah shalat di Istiqlal. Sedangkan di hari Idul Fitri dan Idul Adha jamaah membludak mencapai 250 ribu-500 ribu orang.
Sampai 1942 terdapat sebuah monument menjulang tinggi dan berpagar besi di lokasi Masjid Istiqlal berdiri. Lokasi monumen di persimpangan sebelah timur Jl Perwira dan bagian barat Waterlooplein (Lapangan Banteng). Monumen yang berdiri tegak di tengah-tengah sudut jalan itu kini jadi salah satu bagian ujung timur Masjid Istiqlal.
Monumen Michiels dibangun pada (1853-1855) untuk menghormati Mayor Jenderal Andreas Victor Michiels, komandan Militer Belanda di Sumatra Barat. Dia meninggal karena menderita luka parah saat memimpin ekspedisi menghadapi pemberontakan di Bali (23 Mei 1849).
Jenderal Michiels dimakamkan di pemakaman Kristen Kebon Jahe Kober, Kerkhof Laan (kini Jl Tanah Abang I), Jakarta Pusat. Pemakaman ini setelah lama ditutup, pada awal 1970-an oleh Gubernur DKI Ali Sadikin dijadikan Museum Prasasti. Pemakaman ini telah berusia 210 tahun.
Monumen Michiels diruntuhkan masa pendudukan Jepang (1942-1945) atau pada awal kemerdekaan RI oleh para pejuang tahun 1945. Willemslaan (Jl Perwira) tempat kantor pusat Pertamina berada, pernah jadi kediaman para elite di Batavia. Karena daerahnya yang tenang dan sejuk berkat pohon-pohon rindang di kiri kanan jalan.
Di sebelah kanan monumen, seperti terlihat dalam foto terdapat gereja Katolik yang dibangun pada 1828 sebelum diperluas jadi katedral (1901). Foto kedua bangunan diabadikan fotografer Netherlands Indies Topographic Bureau pada 1870-an.
Agama Katolik yang mula-mula masuk ke Indonesia melalui Portugis yang pada abad abad ke-16 banyak berdatangan ke Indonesia pada masa VOC, 1602 sampai 1799, terarang di seluruh wilayah kekuasaan Kompeni.
Pada 1806 ketika Louis Bonaparte ditunjuk jadi raja Belanda oleh kakaknya Kaisar Napoleon Bonaparte, ia menghilangkan diskriminasi ini. Membolehkan agama Katolik di Indonesia setelah tercapai persetujuan dengan Vatikan (1807).
Pada Februari 1810 Gubernur Jenderal, Willem Herman Daendels membangun sebuah gereja Katolik kecil di Gang Kenanga, depan Pasar Senen. Lokasinya diseberang bioskop Grand (Kramat). Untuk kemudian (1829-1880) berdiri gereja yang lebih besar di Lapangan Banteng (lihat gambar). Gereja itu kemudian direnovasi dan diperluas, hingga jadi Gereja Katedral sekarang ini.
* Naskah ini merupakan naskah almarhum Alwi Shihab tayang di Harian Republika 2005.