REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Di bawah pemerintahan Donald Trump, Muslim di Amerika merasakan dampak dari Islamofobia. Sejak pertama menjabat, Trump cenderung bersikap lebih arogan terhadap Muslim.
Hal itu terlihat dari salah satu langkah pertama yang dilakukan Trump begitu menjabat pada 2017, yakni mengeluarkan larangan perjalanan yang menargetkan beberapa negara mayoritas Muslim.
Ia memenuhi janji kampanyenya dan mengatur panggung berikutnya bagi Muslim di luar negeri dan di dalam negeri.
Dalam artikel di laman Al Araby, Mobashra Tazamal, yang merupakan peneliti Islamofobia di The Bridge Initiative di Universitas Georgetown, menuliskan bahwa para akademisi, pakar hak hukum, dan advokat semua mencatat Islamofobia telah menjadi arus utama di bawah pemerintahan Trump.
Direktur Eksekutif dan salah satu pendiri Council on American-Islamic Relations (CAIR), organisasi hak sipil dan advokasi Muslim nirlaba terbesar di Amerika Serikat, Nihad Awad, mengatakan empat tahun terakhir merupakan masa yang terdiri dari memperjuangkan keadilan dan membela hak-hak sipil Muslim Amerika dalam menghadapi tindakan diskriminatif dari Gedung Putih.
Dalam sebuah wawancara, Awad mengatakan kepada The New Arab, bahwa Islamofobia memiliki efek yang menghancurkan pada Muslim Amerika, khususnya pelajar Muslim muda yang telah diintimidasi rekan-rekan mereka dan terkadang oleh pejabat sekolah mereka.
Hal demikian menyebabkan peningkatan tajam dalam kasus penindasan yang dilaporkan di negara tersebut. Selain pelecehan, umat Islam di seluruh negeri menyaksikan masjid mereka menjadi sasaran vandalisme dan pembakaran.
"Semua ini karena Islamofobia telah dinormalkan dan diberdayakan orang-orang paling kuat di negara ini, seperti Trump. Trump telah menambahkan bahan bakar ke api Islamofobia," kata Awad, dilansir di Al Araby, Sabtu (31/10).
Kepresidenan Trump juga telah melahirkan lebih banyak orang yang terlibat dalam politik, advokasi, dan pengorganisasian komunitas. Menurut Awad, dalam empat tahun terakhir dia melihat minat yang luar biasa pada Muslim Amerika, yang tidak hanya mendaftar untuk memilih dan memberikan suara tetapi juga mencalonkan diri untuk jabatan publik.
Lebih dari 300 Muslim Amerika mencalonkan diri untuk jabatan dan hampir 45-50 persen memenangkan kursi di tingkat federal, tingkat negara bagian, dan tingkat lokal. 'Gelombang Muslim biru', demikian sebutannya, menghasilkan terpilihnya dua anggota kongres Muslim wanita pertama, Rashida Tlaib dan Ilhan Omar.
"Muslim Amerika dan kelompok lain di negara ini sadar akan bahaya nativisme dan supremasi kulit putih di negara ini, pada tatanan Amerika Serikat, dalam persatuan, dan integritas bangsa kita. Ini telah menjadi motivasi yang sangat kuat bagi orang Amerika. Muslim menjadi lebih terlibat secara sipil dan politik," kata direktur CAIR.