REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Kampanye kelompok-kelompok seperti SIAN yang tak ingin Islam berkembang di Norwegia tentu tak dapat dibenarkan. Norwegia sendiri merupakan suatu negara yang meng anut demokrasi dan berkomitmen dalam melindungi hak-hak asasi manusia (HAM). Dan, salah satu prinsip HAM ialah kebebasan beragama.
Dengan mengecap agama tertentu sebagai musuh, SIAN dan para pendukungnya justru telah terlalu jauh dalam menghakimi. Mereka menutup ruang dialog sembari berlindung di balik politik identitas.
Wacana identitas Muslim dan perkembangan terkini Islam di Norwegia dibahas secara mendalam oleh Oddbjorn Leirvik dalam artikelnya, Islam and Muslim-Christian Relations in Norway (2019).
Doktor filsafat dari Universitas Oslo itu mengatakan, populasi umat Islam di negara tersebut berkembang cukup signifikan. Tercatat, sebanyak 250 ribu orang Norwegia memeluk Islam. Angka tersebut berarti sekitar lima persen dari total populasi negara welfare state itu. Dari jumlah itu, sebanyak 150 ribu atau tiga persen dari penduduk Norwegia terdaftar sebagai anggota masjid atau pusat keislaman (Islamic centre) di berbagai kota.
Konsentrasi Muslimin terbesar di seantero Norwegia ada di ibu kota, Oslo. Bahkan, lanjut Leirvik, sebanyak 10 persen dari seluruh warga Oslo mengaku sebagai Muslim. Sekitar 20 persen dari total remaja di sana merupakan pemeluk Islam.
Riset yang dilakukannya pada 2019 menemukan bahwa proposal pembangunan masjid juga paling banyak berasal dari Oslo. Hingga saat ini, ada tujuh masjid yang melayani peribadahan kaum Muslimin di kota berpenduduk 690 ribu jiwa itu.
Seperti halnya negara-negara Barat, kebanyakan komunitas Muslim di Norwegia berasal dari kalangan imigran. Leirvik mendapatkan data, mayoritas mereka merupakan keturunan Pakistan, Somalia, Irak, dan Turki. Ada pula orang-orang berdarah Iran, Bosnia, Afghanistan, dan Maroko.
Leirvik meragukan, bila ada, tudingan yang mengatakan bahwa umat Islam di Norwegia enggan berbaur. Buktinya, Dewan Islam Norwegia yang terbentuk sejak 1993 sudah banyak melakukan dialog lintas iman dengan masyarakat umum. Organisasi itu juga sering mengadakan acara seperti Open Mosque Day yang mengajak non- Muslim untuk datang ke masjid dan bersosialisasi.
Bahkan, inisiatif dialog lintas iman kebanyakan tidak digerakkan kalangan politikus, umpamanya ketika calon legislatif hendak meraup simpati sebelum pemilihan umum.
Menurut Leirvik, berbagai forum pertemuan diajukan baik pihak Dewan Islam Norwegia maupun Dewan Gereja Norwegia. Di antara beragam hasilnya ialah terbentuknya Grup Kontak Kristen- Muslim beberapa tahun lalu.
Muslimin juga menilai positif prinsip negara kesejahteraan (welfare state) yang dianut negara-negara Skandinavia, termasuk Norwegia. Leirvik menjelaskan, tak jarang tokoh Islam menyamakan sistem negara kesejahteraan di Norwegia sebagai ajaran Islam dalam praktik.
Berbagai peneliti sosial juga kerap menjumpai ujaran komparasi positif dari responden Muslim, seumpama bahwa Norwegia lebih islami daripada Pakistan.
Pada 2005, Shoaib Sultan selaku sekretaris jenderal Dewan Islam Norwegia menyatakan, Banyak Muslim saat ini melihat negara kesejahteraan seperti yang dipraktikkan Norwegia sebagai bentuk ideal dari negara Islam, bahkan lebih mendekati ideal daripada umumnya negara-negara mayoritas Muslim. Karena itu, komunitas Muslim Norwegia lebih suka mempertahankan Norwegia seperti yang ada sekarang ini.
Artinya, lanjut Leirvik, tidak ada motivasi dari komunitas Muslim di sana untuk, misalnya, mengubah dasar negara menjadi teokrasi. Uniknya, tokoh-tokoh yang acapkali dicap fundamentalis justru memuji cara rakyat Skandinavia dalam menyelenggarakan negara.
Sebagai contoh, pemimpin Ikhwanul Muslimin Sayyid Qutb pernah mengatakan, Negara-negara Skandinavia dalam hal ini lebih dekat kepada perwujudan aspek-aspek Islam dari pada negara-negara lainnya di dunia.
Maka dari itu, Leirvik menyimpulkan, tendensi anti-Islam yang digelorakan segelintir kelompok cenderung disulut semangat politik identitas belaka. Di Norwegia, agitasi demikian umumnya datang dari kalangan politikus populis sayap kanan dan simpatisan ekstremis Kristen.
Bagaimanapun, dia mengingatkan, sinyalemen politik identitas tak hanya datang dari satu arah. "Politik identitas yang konfrontatif masih saja bersifat endemik baik di kelompok Kristen maupun Muslim," tulis dia.