REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penasihat khusus Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait negosiasi Timur Tengah Avi Berkowitz memperkirakan akan ada lebih banyak negara Muslim atau Arab yang akan mengikuti jejak Uni Emirat Arab (UEA) dalam melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Berkowitz mengatakan, setidaknya tujuh negara Arab atau Muslim kemungkinan akan mengikuti UEA dan Bahrain dengan menandatangani perjanjian menormalkan hubungan dengan Israel.
Para pemimpin politik dan bisnis Arab serta Muslim telah kecewa dengan penolakan kepemimpinan Palestina untuk bahkan membahas rencana 'Damai untuk Kesejahteraan' guna menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Rencana damai tersebut diusulkan oleh pemerintahan Trump tahun lalu. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggambarkannya sebagai 'kesepakatan abad ini'.
Selama wawancara eksklusif dengan Arab News pada Selasa lalu, Berkowitz menekankan pintu tetap terbuka untuk Palestina jika mereka setuju bernegosiasi. Tetapi, Trump akan mencari alternatif jika mereka menolak terlibat.
Dia menambahkan, penolakan oleh beberapa pemimpin Palestina untuk bernegosiasi tidak akan lagi mencegah negara Arab dan Muslim lainnya mengejar perdamaian dengan Israel, atau menghalangi AS untuk berbicara dengan pemimpin dan kelompok masyarakat Palestina lainnya. "Kita bisa tidak setuju tentang perinciannya. Kita bisa duduk di satu meja dan bernegosiasi. Tetapi jika Anda tidak ingin benar-benar meninjau rencana tersebut dan memikirkannya secara mendalam serta menjelaskan mengapa menurut Anda hal itu tidak dapat diterima, maka kita tidak benar-benar berbicara," kata Berkowitz selama wawancara, yang disiarkan di stasiun radio Detroit WNZK pada Rabu pagi, dilansir di Arab News, Kamis (1/10).
Berkowitz mengatakan, rencana perdamaian membutuhkan solusi dua negara yang realistis. Dia mengatakan bahwa rencana itu menyerukan negara Palestina dengan ibu kota di wilayah Yerusalem Timur.
Selain itu, rencana ini menyerukan akses gratis ke semua orang yang datang dengan damai ke semua situs suci sehingga tidak ada yang bisa mengatakan bahwa dengan cara apa pun mereka dikepung. Rencana itu juga menawarkan 50 miliar dolar AS dalam investasi, serta ketentuan bagi orang-orang yang telah mengungsi atau masalah pengungsi.
"Ini tidak diragukan lagi adalah sesuatu yang akan membuat kehidupan rakyat Palestina lebih baik dan akan mengubah arah kawasan. Dan ketika itu (diumumkan) banyak orang melihat Palestina menolak rencana tersebut bahkan sebelum dipublikasikan. Mereka bahkan tidak akan membacanya sebelum menolaknya, dan sejujurnya, itu tidak bisa diterima," ujar Berkowitz.
Ia mengatakan, rasa frustasinya sendiri dengan situasi ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan rasa frustasi yang dapat didengar dari suara rakyat Palestina tentang tindakan para pemimpin mereka. Berkowitz lebih lanjut menyebut kehadiran Israel adalah kenyataan yang harus diterima oleh Palestina.
"Kami tidak akan mengizinkan hal itu menjadi veto atas proyek yang kami harap dapat dilakukan di kawasan ini di masa mendatang," ujarnya.
Namun demikian, ia menambahkan ini tidak berarti jika keluhan dan kekhawatiran yang berkepanjangan akan diabaikan. Berkowitz mengatakan, rencana mereka bukanlah sesuatu yang dilakukan dengan mengabaikan pemahaman pentingnya konflik Israel-Palestina.
"Itu adalah masalah yang nyata. Ini adalah salah satu yang ingin kami berikan sebanyak mungkin perhatian yang diinginkan oleh kepemimpinan Palestina untuk melibatkan kami," tambahnya.
Perjanjian antara UEA dan Israel diumumkan pada 13 Agustus 2020. Bahrain mengumumkan kesepakatan serupa pada 11 September 2020.
Kedua perjanjian tersebut, yang dikenal sebagai Abraham Accords, ditengahi oleh Trump. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh menteri luar negeri UEA dan Bahrain dan Netanyahu di Gedung Putih pada 15 September 2020. Sebagai imbalan untuk membangun hubungan diplomatik dan ekonomi penuh, Israel setuju menangguhkan rencananya mencaplok sebagian besar wilayah Tepi Barat yang diduduki.