REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan tetap berjalan, meskipun banyak pihak mengusulkan untuk ditunda. Pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi ini dinilai memiliki madharat karena berpotensi melanggar aturan dan protokol kesehatan. Sementara di sisi lain, sebagian masyarakat masih dibatasi dalam ibadah ke masjid karena pandemi ini.
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Miftahul Huda, berpandangan bahwa penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi virus corona saat ini sangat rawan penularan. Dengan demikian, itu sangat membahayakan keselamatan jiwa.
Akibatnya, kerugian negara semakin besar, karena dampak dari bertambahnya pasien Covid-19 akan berpengaruh tidak hanya pada faktor kesehatan, tetapi juga semua lini kehidupan bangsa.
"Oleh karena itu, penundaan pelaksanaan pilkada adalah wajib dipilih oleh pemerintah," kata Miftah, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Selasa (29/9).
Namun demikian, ia memberikan saran jika memang pilkada tidak lagi bisa diundur. Menurutnya, perlu strategi khusus dalam pelaksanaan pilkada nanti. Misalnya, tidak ada kampanye secara fisik. Kemudian, pemilihan suara dilakukan dengan teknologi yang tidak lagi mendatang tempat pemungutan suara (TPS).
Sebelumnya, penundaan pilkada juga telah diserukan oleh sejumlah ormas Islam, seperti PBNU dan Muhammadiyah. Kedua ormas Islam ini meminta pemerintah menunda Pilkada demi keselamatan publik. Kendati demikian, pemerintah, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap akan menyelenggarakan pilkada, namun dengan aturan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.