REPUBLIKA.CO.ID, Sejak awal abad ke-19 ketika kelompok Dr Oscar Levy menyusun konspirasi dengan apa yang mereka sebut sebagai Protocols of Zion. Maka, semenjak itu pula, gerakan untuk membangun Israel Raya ini, mereka usahakan secara sistematis melalui lobi orang-orang Yahudi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Protocols of Zion adalah sebuah gagasan yang melahirkan gerakan zionisme, blue print yang sudah lama dioperasionalkan jauh sebelum Inggris memberikan secupak tanah di Palestina kepada kaum Yahudi yang akhirnya menyebabkan mereka secara besar-besaran melakukan eksodus ke bumi yang dikenal sebagai tempat kelahiran tiga agama besar samawy itu.
Inggris kemudian meninggalkan ‘bom waktu’ di sini (Timur Tengah, red) pascapenjajahan. Tujuannya, untuk melemahkan semangat nasionalisme Arab yang mulai berkembang pesat kala itu, dan sempat mengancam Barat. Yahudi yang mempunyai keunggulan dalam lobbying dan sudah kompromi dalam hubungan Yudeo- Christian dengan negara Barat, meneguhkan posisi berdirinya negeri Israel tersebut.
Sementara Amerika Serikat sendiri memang menginginkan geopolitik di Timur Tengah masih bisa dikendalikan oleh hegemoni Barat (Eropa dan Amerika Serikat) dengan kartu permainan politik diplomasi multilateral seperti yang diperankan Amerika Serikat selama ini. Protocols of Zion sudah menyusun strategi dalam 13 langkah. Langkah itu untuk menundukkan pengaruh politik dunia yang dapat dikendalikan Yahudi, meskipun minoritas.
Langkah-langkah itu antara lain: Pertama, di bidang politik mereka akan menggunakan isu new world order (Tatanan Du nia Baru) yang sesungguhnya ber basis kekuatan Amerika Serikat (superpower). Jangan lupa, mitos yang sempat berkembang bahwa Amerika Serikat adalah Israel besar, sedangkan Israel adalah Amerika Serikat kecil.
Kedua, dalam bidang ekonomi dan moneter. Mencanangkan pasar bebas dengan kendali negara-negara kuat industri yang menguasai dan bisa mengatur pasar. Demikian juga dollar Amerika Serikat yang dikuasai George Soros, seorang Yahudi cerdik yang sering membuat negara-negara berkembang tak berkutik.
Lembaga-lembaga keuangan dunia seperti World Bank dan International Moneter Fund (IMF) juga tak terlepas dari dominasi Yahudi hingga membuat negara-negara yang berhutang termasuk Indonesia sulit ke luar dari jerat-jerat pengaruh Zionis ini.
Ketiga, dalam bidang kebudayaan. Mereka mencanangkan globalisasi yang bertumpu pada budaya sekuler dan permissive, sehingga mereka dapat dengan mudah melakukan penetrasi budaya ke negara-negara timur yang masih memegang budaya adiluhung. Contohnya, kebebasan ekspresi yang tak terkendali akan menimbulkan ekses sosial yang buruk antara lain pornografi, dan itu yang dikehendaki Zionisme untuk melemahkan suatu bangsa yang akan dipengaruhinya.
Keempat, di bidang agama. Mereka memperkenalkan faham pluralisme yang tujuannya akan menncampuradukkan keyakinan beragama dalam proses singkretisme yang mustahil bisa dipaksakan.
Namun, pengaruh metodologi liberal ini sudah merasuk dalam dunia pendidikan negeri-negeri Timur, termasuk Indonesia. Di bidang pemikiran, mereka menawarkan filsafat liberal yang liar, hingga meragukan segala teori yang konstruktif dan keyakinan pada ilmu dijadikan pijakan keraguan serta mereka melakukan dekonstruksi pada semua temuan terdahulu.
Kelima, di bidang hukum. Mereka mengangkat isu HAM (Hak-hak Asasi Manusia) dan emansipasi yang sesungguhnya bertujuan untuk menohok aturan-aturan baku agama dan norma yang berkembang di masyarakat. Keenam, di bidang pers. Mereka memasyarakatkan kebebasan, namun dikendalikan pemilik sebagai alat untuk mengorbitkan ‘teman’ dan sekaligus menjatuhklan ‘lawan’.
Sebenarnya sinyal Protocols of Zion ini terlihat jelas pada mata uang 1 (satu) dollar AS berupa gambar piramid terpancung dengan 13 blok rencana Zionisme Internasional menguasai dunia. Untuk mencapai semua tujuan itu, mereka menggunakan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) antara lain Rotary Club, Lions Club dsb. Semua itu dengan berkedok sebagai aksi sosial dengan menafikan peran agama.