REPUBLIKA.CO.ID, Secara tradisional, Muslim Bulgaria terdiri atas tiga kelompok: keturunan Turki, Muslim Roma, dan Pomaks. Di luar kelompok itu terdapat komunitas Muslim imigran. Kelompok ini muncul pada 1960-an sebagai hasil pertukaran pelajar negara-negara Arab dengan Bulgaria. Lainnya, dalam jumlah yang sangat kecil, yakni Muslim Tatar.
Muslim Turki, demikian orang Bulgaria menyebut keturunan Turki penganut Islam, adalah kelompok minoritas terbesar, kira-kira tujuh pesen dari populasi Bulgaria. Mereka terkonsentrasi di sebelah tenggara, di sepanjang perbatasan Bulgaria-Turki, dan di dekat Kota Razgrad dan Shumen di timur laut Bulgaria.
Kelompok kedua adalah Muslim Roma atau orang-orang Gypsie yang memeluk Islam. Ada pula yang menyebut mereka Turkified Roma atau mereka yang diislamkan saat Kekaisaran Ottoman menguasai Balkan. Mereka berbicara dalam bahasa Turki, menjalani ritual Islam, mengidentifikasi diri sebagai Turki, tapi tidak diterima oleh komunitas mainstream Turki di Bulgaria karena berkulit gelap.
Sedemikian rumitnya identitas Muslim Roma menyebabkan sensus yang diselenggarakan Pemerintah Bulgaria tidak pernah menghasilkan data yang valid. Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah mereka. WikiLeaks menyebut jumlah mereka antara 200 ribu sampai 400 ribu.
Silvi, misalnya. Muslimah Bulgaria berprofesi sebagai penjual kosmetik merek terkenal ini, kerap direpotkan urusan rambut. Setiap kali muncul warna abu-abu pada ujung rambutnya, Silvi merasa tak nyaman dan segera mengecatnya dengan warna hitam.
Ketika ditemui Kristen Ghodsee, penulis buku Muslim Lives in Eastern Europe: Gender, Ethnicity, and the Transformation of Islam in Postsocialist Bulgaria 2005, Silvi mengaku harus mengecat rambut sekali dalam sembilan hari agar warna asli rambutnya yang keabu-abuan tidak terlihat.
Rambut adalah identitas keetnisan dan terkadang digunakan untuk mengidentifikasi pemeluk agama. Pemilik rambut abu-abu adalah mereka yang berdarah Turki, sedangkan pemiliki rambut hitam-tebal menyebut diri Bulgaria asli.
Silvi tidak bisa mengingkari asal-usulnya. Ia lahir dari keluarga keturunan Turki yang bermukim di Madan, kota di Provinsi Smolyan (selatan Bulgaria), tapi harus memanipulasi diri agar terlihat sebagai orang Bulgaria asli dan diterima bekerja sebagai penjual kosmetik.
Silvi juga bukan nama asli. Saat lahir, orang tuanya memberi nama Aysel, kata dalam bahasa Turki yang berarti cahaya rembulan. Saat Todor Zhivkov, kepala negara sekaligus pemimpin komunis Bulgaria, menjalankan politik Slavisasi dan menghapus identitas Turki bagi seluruh warga Bulgaria, Aysel kecil harus berganti nama menjadi Silvia yang disingkat menjadi Silvi, sebuah nama Barat.
Penduduk Bulgaria yang menggunakan nama Barat diidentifikasi sebagai pemeluk Katolik. Mereka yang menggunakan nama Slav dikenal sebagai pemeluk Orthodoks. Namun, Silvi tidak pernah dibaptis menjadi Katolik. Ia kerap menyebut diri Muslimah meski tidak menjalankan ritual Islam sama sekali.
Setelah kejatuhan komunis, Silvi menyaksikan rekan-rekannya dari keluarga Muslim di Madan kembali mengenakan nama-nama Turki. Namun, Silvi, dan juga seluruh anggota keluarganya, tidak melakukannya. Alasannya sederhana. “Di Bulgaria, nama Turki identik dengan keterbelakangan, kampungan, dan menjadi penghambat interaksi dengan masyarakat modern.”
Agen kosmetik dan produk-produk mewah lainnya, tidak akan menerima wanita keturunan Turki, atau mereka yang menggunakan nama-nama Muslim, sebagai pegawainya. Asumsinya, “orang kampung” tidak mungkin bisa menjual barang mewah.
Namun, sejak 2005, Silvi dihadapkan pada kenyataan yang sulit dicerna akal sehatnya. Ia kesulitan menjajakan dagangannya dan tidak bisa lagi menjual sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Silvi tak siap menghadapi revolusi di masyarakatnya.
Memasuki 2005, perubahan sosial-keagamaan di Madan menjadi masif. Gadis-gadis Madan tidak lagi mengenakan rok pendek atau pakaian ala Barat lain, tapi berpakaian ala Arab, dengan rok menutup seluruh kaki, dan kurpa (jilbab). Restoran tidak lagi menjual semua menu berbahan dasar daging babi. Wanita dilarang keluar rumah malam hari tanpa ditemani suami atau saudara laki-laki.
Liliana, rekan Silvi yang berprofesi sebagai distributor kosmetik untuk Madan, menghadapi persoalan lebih rumit. Ia lahir dan besar dari keluarga hodzha (ulama) dan tinggal di sebuah desa yang berjarak 30 menit perjalanan dari Madan. Berbeda dengan Silvi, Lili membiarkan warna asli rambutnya tergerai.
Setiap kali berangkat dari rumah, Lili, demikian wanita yang ditemui Kristen Ghodsee tahun 2005 dan masih berusia 30 tahun, mengenakan busana Muslim atau Arabski stil (bergaya Arab). Di tempat kerja, Lili menanggalkan busana itu dan mengenakan rok pendek ala Barat.
Lili harus melakukan semua itu demi mempertahankan pekerjaannya. Ayahnya tahu, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Lili, ibu berputra dua yang ditinggal suami, adalah tulang punggung keluarga. Ayahnya sangat tua dan salah satu ulama yang dihormati di lingkungannya.
Sebagai hodzha, ayah Lili telah melewati masa-masa paling pahit dalam perkembangan Islam di Bulgaria, khususnya Madan. Sekitar satu dekade lalu, Lili kerap mengantar sang ayah ke Madan untuk shalat Jumat. Ia masih ingat bagaimana sang ayah kerap mengeluhkan suasana kota yang kotor dan pemabuk memasuki masjid pada tahun-tahun pertama usai keruntuhan komunis.
Ketika terakhir kali ke Madan untuk sholat Jumat sekitar tahun 2000, Lili menyaksikan ayahnya tersenyum melihat pembangunan masjid dan sejumlah madrasah. Namun, bagi Lili Madan menjadi kota yang tak dikenal.
Madan dikenal Lili merupakan kota sekuler dengan anak-anak muda berpakaian rok mini, celana ketat, dan t-shirt tanpa lengan, serta restoran tanpa bertuliskan “halal”. Madan yang dalam bahasa Arab berarti “kota” kini menjadi satu dari sekian kota kecil masyarakat Muslim Bulgaria yang menemukan kembali identitasnya.