REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU Muqsith Ghazali menyayangkan keputusan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tetap dilanjutkan di tengah pandemi Covid-19. Padahal, selama ini segala aktivitas yang mengundang perkumpulan banyak orang dihentikan untuk membendung penyebaran virus tersebut.
"Di zona merah apalagi hitam, yang dilarang adalah aktivitas berkumpul yang memungkinkan terjadinya penularan virus. Di zona merah, perkumpulan massa yang terkait ibadah saja dilarang apalagi yang selain ibadah," ujar Muqsith dalam pesan teks, Kamis (24/9).
Jika ibadah saja dilarang, bagaimana bisa perkumpulan massa dalam jumlah besar yang mungkin akan terjadi selama pemilihan berlangsung diizinkan. Dia menambahkan, pilkada tidak haram, tetapi momen berkumpulnya banyak orang dikhawatirkan semakin menambah angka pasien Covid-19.
"Jadi yang dilarang atau haram bukan pilkadanya, tapi aktivitas berkumpulnya. Karena dalam perkumpulan itu, jika seseorang tak ditulari, maka ia adalah pihak yang menulari," ujar Muqsith.
Dia mengatakan, sebagaimana sabda Nabi SAW, alangkah lebih bijak menghindar dari perbuatan yang bisa menimbulkan kemudharatan. "La dharara wala dhirar," yang artinya tidak boleh memudaratkan diri sendiri dan memudaratkan orang lain.
Saat ditanyakan mengenai apakah PBNU akan mengeluarkan fatwa larangan mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Muqsith mengatakan belum mengetahuinya. "Belum tahu," katanya.
DPR, Pemerintah, KPU, Bawaslu sepakat pilkada akan tetap digelar pada 9 Desember 2020. Desakan untuk penundaan terus bergema dimana-mana.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Azyumardi Azra salah satunya yang menyatakan dengan tegas akan golput pada pilkada 2020. Keputusan tersebut diambil sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan.