REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Di era modern, menara tak lagi dijadikan tempat untuk azan, namun lebih sebagai tempat untuk meletakkan alat pengeras suara. Dengan alat pengeras suara ini, maka panggilan shalat bisa terdengar hingga ke rumah-rumah penduduk. Karenanya, tak mengherankan jika keberadaan menara di sejumlah negara-negara Eropa yang mayoritas penduduknya adalah non-Muslim dinilai mengganggu.
Tak hanya di Eropa, bahkan di Indonesia pun ada sekelompok orang yang menolak keberadaan menara masjid. Ada pula sejumlah buku yang mengajak umat Islam senantiasa berdakwah dengan damai kendati tanpa TOA (speaker yang biasa digunakan untuk mengeraskan suara agar lebih mudah didengar orang banyak).
Respons negatif terhadap keberadaan bangunan menara masjid ditunjukkan oleh masyarakat non-Muslim di Swiss. Mereka menuntut diberlakukannya larangan pembangunan menara masjid melalui sebuah referendum (jajak pendapat).
Referendum tersebut diusulkan Partai Rakyat Swiss (SVP) yang menganggap menara masjid adalah simbol syariah dan tidak sesuai dengan sistem hukum Swiss. Memang, meski tak lagi menjadi tempat untuk mengumandangkan azan, hampir setiap bangunan masjid besar di seluruh dunia dilengkapi menara. Menara telah menjadi simbol dan lambang keberadaan Islam.
Hasil referendum yang diselenggarakan pada 29 November 2009 lalu menunjukkan lebih dari 57,5 persen pemilih dari 2,67 juta warga yang memberikan suara mendukung pelarangan itu. Sedangkan 42,5 persen lainnya menentang. Sementara sebanyak 22 dari 26 provinsi di Swiss memilih pelarangan pembangunan menara masjid.
Padahal, di negara yang terkenal dengan sebutan Euro-Islam ini terdapat beberapa masjid, termasuk satu di Jenewa dan satu di Zurich. Bangunan masjid yang berada di Jenewa dan Zurich ini kedua-keduanya dilengkapi dengan menara. Selain itu, juga ada sekitar 120 ruang shalat resmi di seluruh negeri dan sekitar 100 ruang shalat tak resmi.
Kebijakan larangan pembangunan menara di Swiss ini kemudian menjalar ke sejumlah negara Eropa lainnya. Seruan untuk menggelar referendum melarang simbol Islam tersebut juga marak di Belanda, Belgia, Italia, dan Jerman. ''Kami akan mendesak pemerintah untuk menggelar referendum serupa di Belanda,'' kata Geert Wilders, pemimpin sayap kanan Belanda dari Partai Kebebasan (PVV), kepada harian Volkskrant, yang dikutip dari laman situs Islamonline, awal Desember 2010 lalu.
Di Belgia, partai sayap kanan Vlaams Belang berencana mengajukan sebuah dekrit kepada parlemen wilayah Flemish. Menurut mereka, menara masjid merusak lingkungan dan identitas budaya yang telah ada. Sementara Liga Utara yang antiimigran juga mendesak larangan menara masjid di Italia. ''Swiss mengirimkan kita sinyal yang jelas: ya untuk menara lonceng, tidak untuk menara masjid,'' ujar anggota Liga Utara yang juga Menteri Administrasi Roberto Calderoli
Sedangkan di Jerman, pertengahan Februari lalu, mayoritas warga di wilayah Volklinger yang berbatasan dengan Prancis menolak pendirian menara sepanjang 8 meter di sebuah masjid di wilayah itu. Surat kabar Turki Cihan edisi 12 Februari 2010, mengutip sumber media Jerman, melansir penolakan mayoritas warga Volklinger atas pembangunan menara masjid di wilayah tersebut telah menyulut kontroversi di publik Jerman secara umum.
Dari sekitar 40 ribu total penduduk wilayah Volklinger yang mayoritas berasal dari etnis Jermanik asli, lebih dari separuhnya menolak rencana pembangunan menara Masjid Suleymie yang didirikan komunitas Muslim Turki.
Sebab utama dari penolakan atas pembangunan menara itu, sebagaimana ditulis Cihan, adalah karena kekhawatiran mereka akan perkembangan masjid dan agama Islam yang tercatat sangat cepat di Jerman. Atas penolakan separuh lebih penduduk wilayah Volklinger itu, pemerintahan wilayah Volklinger pun menarik izin pembangunan menara masjid yang semula telah dikeluarkan.