REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VIII DPR RI, KH Bukhori Yusuf mengusulkan agar kedepannya Badan Wakaf Indonesia (BWI) dijadikan salah satu lembaga nazhir yang mengumpulkan wakaf modern. Wakaf modern tidak selalu bentuknya tanah, bentuknya bisa keuangan yang mudah dicairkan dan berkelanjutan.
"Saya mengusulkan kedepan BWI jadikan salah satu lembaga nazhir yang mengumpulkan wakaf modern," kata Kiai Bukhori saat menjadi narasumber webinar nasional tentang 'Urgensi Revisi UU Wakaf Dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional Pasca Covid-19', Kamis (17/9).
Ia mengatakan, posisi pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) diusulkan hanya terkait regulasi wakaf. Maka Kemenag harus menyelesaikan permasalahan tentang legalitas aset wakaf. Kemenag juga harus menyelesaikan berbagai macam masalah sengketa aset wakaf.
Ia juga menyampaikan, BWI perlu diberi tanggung jawab secara proporsional dan jangan diberi beban melampaui batas. Maka BWI jangan dijadikan sebagai nazhir nasional, karena akan melampaui batas.
"Ketika bicara nazhir nasional, saya bisa bayangkan kalau BWI dianggap sebagai nazhir nasional ini akan jadi persoalan, bayangkan ia (BWI) akan mengelola aset 3,4 miliar meter persegi tanah wakaf," ujarnya.
Ia menerangkan, kalau BWI menjadi nazhir nasional, maka nazhir-nazhir yang di bawah menjadi tidak ada gunanya. BWI sebaiknya diberi kewenangan membina para nazhir. Artinya BWI berperan menjadi pembina nazhir saja, bukan menjadi nazhir nasional.
Menurut Kiai Bukhori, BWI nantinya harus menjadi satu prototype nazhir dari sekian juta nazhir yang kemudian diprakarsai pemerintah untuk mendayagunakan wakaf modern. Supaya langkah BWI lebih berenergi dan terukur.
Tapi kalau BWI dibebani regulasi dan dibebani beban lainnya yang diluar kapasitasnya, maka tugas BWI akan menjadi terlalu berat. "Nantinya tidak akan menghasilkan apa-apa," ujarnya.