REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA – Lembaga think tank Proyek tentang Demokrasi Timur Tengah (POMED) menilai, kebijakan luar negeri Turki kini fokus melawan hegemoni negara-negara Barat.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan disebut mempunyai keinginan besar untuk menjadikan negaranya memimpin gelombang Islam populis non-sektarian melawan Barat.
Untuk mewujudkan misi itu, Turki pun melanjutkan dasar-dasar kebijakan luar negeri tradisionalnya terkait negara-negara Muslim.
Howard Eissenstat, anggota senior POMED, mengatakan, Turki kini mendukung negara-negara yang memiliki kesamaan akar budaya ataupun etnis dengannya.
Misalnya, Siprus Utara, Balkan, dan Kaukasus, serta populasi Turkmenistan di Suriah dan Irak. Namun, Turki menentang munculnya kekuatan politik Kurdi dan negara Kurdi.
Kebijakan Tukri di negara-negara Muslim itu juga tampak di Asia dan Afrika. Militer Turki diterjunkan di Sudan, Libya, dan Somalia. Tindakan itu, kata Eissenstat, "mewakili ambisi lama Turki sebelum berakhirnya Perang Dingin."
Eissenstat menuturkan, ekspansi militer di luar negeri seperti Siprus Utara, Irak utara, Qatar, dan Suriah, merupakan perubahan radikal dalam kebijakan luar negeri Turki. "(Hal itu) membawa kita ke ranah ketiga kebijakan luar negerinya, yaitu upaya untuk memainkan peran utama di Timur Tengah dan dunia Muslim,” katanya sebagaimana dilansir Ahval, Selasa (15/9).
Menurut Eissenstat, saat ini Erdogan juga menganggap partainya, AKP, adalah wakil dari gelombang baru di dunia Muslim. Partainya menampilkan wajah negara Turki yang sepenuhnya modern, populis, sekaligus taat. Tak seperti negara-negara Barat.
Erdogan, lanjut dia, membayangkan Turki bakal memimpin gelombang Islam populis non-sektarian melawan "kekuatan lama Barat". Gelombang itu akan melawan Amerika dan Barat. Hal ini adalah tujuan akhir dari kebijakan luar negeri Turki di bawah pemerintahan AP selama dua dekade.
Misi akhirnya melawan Barat, ujar Eissenstat, tampak sudah mulai dirintis dengan mendukung Venezuela dan berupaya memperluas Dewan Keamanan PBB untuk memasukkan entitas non-Barat. Sebab, Erdogan berpandangan bahwa Barat "pada dasarnya munafik dan mengalami penurunan kekuasaan."
Dia melanjutkan, sikap agresif Turki terhadap Barat juga karena sekutu Baratnya tak memperhatikan kepentingannya. Contohnya saja dalam persoalan Siprus dan Yunani.
“Pemerintah Turki percaya bahwa dinamika kekuatan regional dan global bergeser secara fundamental dan Turki tidak punya pilihan selain mengambil sikap yang lebih agresif untuk mendapatkan tempat yang selayaknya dalam tatanan dunia yang berkembang.” kata professor sejarah Timur Tengah di St Lawrence University, Amerika Serikat itu.
Kendati demikian, menurut Eissenstat, Turki tidak menolak Barat sepenuhnya. Turki hanya menginginkan hubungan yang lebih adil. Turki disebut juga tak sedang berupaya untuk menjadi kekaisaran baru. Tapi, Turki sedang berupaya "untuk memperluas pengaruhnya dan menciptakan pasar untuk industrinya".