REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Indonesia kembali harus kehilangan putera terbaiknya, Profesor Abdul Malik Fadjar, Senin (7/9) malam. Sosok yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama RI ini dikenal mempunyai darah guru yang begitu kuat.
Kepala Humas dan Protokoler UMM, Sugeng Winarno membuktikan kekuatan seorang pendidik dari sosok Malik Fadjar. Karakter ini telah muncul sejak almarhum menjadi guru agama di daerah terpencil di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 1959, yaitu Sekolah Rakyat Negeri (SRN) Taliwang. "Selanjutnya, perjalanan hidupnya tak pernah lepas dari dunia pengajaran dan pendidikan," kata Sugeng melalui pesan resmi yang diterima Republika.co.id, Senin (7/9).
Selepas dari SRN Taliwang, Malik berturut-turut mengajar di Sekolah Guru Bantu (SGB) Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Sumbawa Besar NTB pada rentang 1960-1963. Kemudian menjadi dosen Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang pada 1972, dosen dan dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMM hingga 1983. Almarhum juga pernah menjadi rektor di dua kampus, yaitu di UMM pada 1983-2000 dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada 1994-1995.
Selama puluhan tahun menjadi guru di Muhammadiyah, Malik Fadjar tak sekadar menjadi seorang pendidik. Dia juga berkontribusi besar membangun sekolah-sekolah Muhammadiyah dan perpustakaan desa di Yogyakarta dan Magelang.
Kesuksesannya dalam mengembangkan pendidikan, terutama pendidikan Islam, membuat namanya kian disegani dalam dunia pendidikan Indonesia. Terlebih, ia mampu membawa UMM yang semula tak begitu dipandang menjadi kampus yang amat disegani dalam konteks nasional bahkan internasional. Hal itu membuatnya dipercaya sebagai Menteri Agama di era Presiden BJ Habibie pada 1998-1999 dan Menteri Pendidikan Nasional di era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri 2001-2004.
Malik Fadjar juga sempat menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) ad-interim menggantikan Jusuf Kalla yang ketika itu mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pemilu 2004. "Di samping itu, Malik juga aktif di Ikatan Cendekiwan Muslim Indonesia (ICMI) dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS)," ucapnya.
Tidak hanya jati diri sebagai seorang pendidik, karakter kepemimpinan Malik yang memiliki pengaruh demikian besar tidak terjadi begitu saja. Dari riwayat pendidikannya, dia memang memiliki //passion yang amat besar untuk menjadi seorang guru.
Malik memulai pendidikannya di SRN Pangenan Kertoyudan, Magelang, Jawa Tengah pada 1947. Selanjutnya, bersekolah di Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri (PGAPN) Magelang pada 1953 dan Pendidikan Guru Agama Atas Negeri (PGAAN) Yogyakarta pada 1957. Kemudian kuliah di IAIN Sunan Ampel Malang pada 1963 dan meraih gelar Sarjana Pendidikan Kemasyarakatan Islam pada 1972.
Tujuh tahun setelahnya, Malik melanjutkan studinya di Florida State University, Amerika Serikat. Di kampus ini, dia meraih gelar Master of Science di bidang pengembangan pendidikan pada 1981.
Kepakarannya di bidang pendidikan kian lengkap setelah Malik dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel pada 1995. Kemudian pada 2001, Malik mendapat gelar kehormatan Doktor Honoris Causa di bidang kependidikan Islam dari Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sugeng menilai, kiprah Malik Fadjar untuk Indonesia memang sudah tidak diragukan lagi. Mulai dari praktisi pendidikan paling dasar, birokrat pendidikan, hingga cendekiawan Muslim, Malik senantiasa berpikir soal kemajuan bangsanya. Ibarat pena, kata Sugeng, Malik Fadjar adalah tinta yang tak pernah habis.
"Guru adalah jiwanya. Penghayatan terhadap filosofi guru menjadikannya seorang guru yang sebenar-benarnya guru, hingga menjadi Menteri para Guru (Mendiknas)," ungkapnya.