REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa waktu lalu Bank Indonesia (BI) mengeluarkan uang baru pecahan Rp 75 ribu. Uang baru itu merupakan uang edisi khusus HUT ke-75 RI.
BI menegaskan uang tersebut dapat digunakan sebagai alat transaksi yang sah. Selain itu, bisa juga untuk koleksi karena uang baru yang diluncurkan pada 17 Agustus itu mempunyai desain unik.
Uang tersebut dikeluarkan terbatas, yakni hanya sebanyak 75 juta bilyet/lembar. Alhasil banyak orang termasuk para kolektor memburu uang baru tersebut.
Beberapa hari setelah masyarakat bisa memperoleh uang baru itu, sejumlah orang justru menjual uang baru pecahan Rp 75 ribu itu di sejumlah toko daring. Tak tanggung-tanggung, uang baru itu dibanderol dengan harga jutaan rupiah. Bagaimana hukumnya?
Pakar fiqih muamalah yang juga Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia, Ustadz Oni Sahroni menjelasakan dalam Islam pada dasarnya dibolehkan tukar-menukar uang dengan syarat dilakukan secara tunai dan dengan nominal uang yang sama.
Ustadz Oni menjelaskan bila uang baru Rp 75 ribu tersebut masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, maka bisa dipertukarkan secara tunai dengan nominal yang sama. “Seperti menukarkan uang baru Rp 75 ribu, maka ditukarkan juga dengan Rp 75 ribu. Memberikan 75 ribu dan mendapatkan 75 ribu. Ini merujuk pada ketentuan fiqih terkait dengan tukar menukar atau jual beli alat pembayaran yang sama seperti rupiah dengan rupiah di mana harus dilakukan secara tunai dan sama nominalnya,” katanya.
Ustadz Oni menjelaskan hal ini merujuk pada hadits dari Ubadah bin Shamit yang berbunyi: “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah).
Dan juga hadits dari Umar al-Faruq, yang berbunyi; “(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.” (HR Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Ustadz Oni menjelaskan para ahli fiqih berpendapat kata emas dalam hadits tersebut dimaksudkan sebagai alat tukar. Oleh karena itu, setiap alat tukar yang diterbitkan oleh otoritas suatu negara menjadi alat pembayaran yang sah.
Maka, masuk dalam kategori tersebut sehingga harus sama nominalnya dan dilakukan secara tunai apabila hendak melakukan tukar-menukar. “Yang menjadi referensi juga adalah maqashid atau target dibolehkannya alat pembayaran seperti rupiah.
"Menurut Islam, alat tukar mata uang tetap harus difungsikan sebagai alat pembayaran yang seharusnya menghasilkan barang dan jasa,” kata Ustadz Oni.
Ia mengatakan uang tidak boleh dijadikan sebagai komoditi selama mata uang tersebut tetap berlaku sebagai alat pembayaran menurut otoritas. Maka jual beli uang baru pecahan Rp 75 ribu seharga jutaan rupiah lewat daring seperti yang ramai dilakukannya belakangan ini tidak sesuai dengan tuntunan hadits dan maqashid di atas.